Tolak Nepotisme, Pejabat Taliban Dilarang Pekerjakan Kerabat di Pemerintahan

Pejabat Taliban diperintahkan memecat putra dan kerabat yang bekerja di pemerintahan.

Foto : MgRol112
Ilustrasi Kelompok Taliban. Pemimpin tertinggi Taliban Mullah Hibatullah Akhundzada telah mengeluarkan dekret berisi penentangan terhadap praktik nepotisme. Dekret tersebut berisi larangan terhadap para pejabat Taliban untuk mempekerjakan saudara atau kerabat mereka di pemerintahan.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, KABUL – Pemimpin tertinggi Taliban Mullah Hibatullah Akhundzada telah mengeluarkan dekret berisi penentangan terhadap praktik nepotisme. Dekret tersebut berisi larangan terhadap para pejabat Taliban untuk mempekerjakan saudara atau kerabat mereka di pemerintahan.

Baca Juga


“Ini adalah perintah kepada semua pejabat di kementerian, departemen, dan otoritas independen bahwa tidak seorang pun diizinkan untuk menunjuk anggota keluarga atau kerabat di posisi pemerintahan,” demikian bunyi dekret tersebut yang diunggah di akun Twitter pemerintahan Taliban pada Sabtu (18/3/2023) malam.

Mullah Hibatullah Akhundzada juga memerintahkan semua pejabat Taliban memecat putra dan kerabat mereka yang sudah bekerja di pemerintahan. Keputusan Akhundzada juga memerintahkan agar semua pejabat Taliban segera mengisi pos-pos yang dikosongkan dengan orang-orang selain putra, anggota keluarga, atau kerabat mereka.

Dalam unggahan di akun Twitter-nya, Taliban tidak menjelaskan alasan di balik keputusan yang diambil Akhundzada. Namun tersiar kabar bahwa banyak pejabat Taliban lebih memilih menunjuk putra atau kerabat mereka untuk menduduki posisi penting di pemerintahan daripada dari kalangan profesional.

Akhundzada jarang tampil di depan publik. Dia pun terbilang jarang membuat pernyataan umum. Hal demikian biasanya dilakukannya jika memang benar-benar ada sesuatu yang penting untuk diumumkan. Pada November 2022, misalnya, Akhundzada memerintahkan para hakim di Afghanistan untuk menerapkan penuh hukum Islam. Hal itu termasuk eksekusi di depan umum, rajam dan cambuk, serta amputasi anggota badan bagi pencuri.

Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid mengungkapkan, perintah “wajib” penerapan penuh hukum Islam dibuat setelah Akhundzada bertemu dengan sekelompok hakim. “Hati-hati memeriksa berkas pencuri, penculik, dan penghasut. Berkas-berkas itu di mana semua syarat syariat hudud dan qisas telah terpenuhi, Anda wajib menerapkannya. Ini adalah hukum syariat, dan perintah saya, yang wajib,” kata Mujahid menyitir pernyataan Akhundzada, dikutip laman Al Arabiya, 14 November 2022 lalu.

Hudud mengacu pada pelanggaran yang, di bawah hukum Islam, jenis hukuman tertentu diamanatkan. Sementara qisas diterjemahkan sebagai “pembalasan dalam bentuk barang”, seperti mata diganti mata. Terkait pelanggarannya, kejahatan hudud termasuk perzinahan, meminum alkohol, mencuri, menculik dan merampok, murtad, dan memberontak.

Sementara qisas mencakup pembunuhan dan cedera yang disengaja. Dalam kasus qisas, keluarga korban dimungkinkan juga untuk menerima kompensasi sebagai pengganti hukuman. Saat menguasai Afghanistan pada 1996-2001, Taliban menerapkan secara ketat dan tegas hukum atau syariat Islam. Saat rezim Taliban digulingkan Amerika Serikat (AS), pemerintahan baru Afghanistan tak memberlakukan lagi syariat.

Dua dekade berselang, pada Agustus 2021 lalu, Taliban kembali berhasil merebut kekuasaan di Afghanistan. Hal itu sempat memicu “eksodus”. Ratusan ribu warga di sana berusaha melarikan diri ke negara-negara tetangga. Sebab mereka enggan kembali hidup di bawah pemerintahan Taliban dengan aturan syariatnya yang ketat.

Tak lama setelah menguasai kembali Afghanistan, Taliban sempat berjanji tidak akan memberlakukan lagi hukum syariat seperti saat mereka berkuasa pada 1996-2001. Namun janji tersebut tampaknya tidak akan terwujud. Hingga saat ini belum ada satu pun negara yang mengakui pemerintahan Taliban di Afghanistan. 

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler