Soal Diversi Hukum Pelaku Anak AG, Kuasa Hukum David: Keluarga tak Membuka Peluang
Pelaku anak AG terancam pidana sekitar enam tahun penjara.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Keluarga David Ozora memaklumi peran kejaksaan untuk mengupayakan penyelesaian nonyudisial khusus terhadap AG yang berstatus sebagai anak berkonflik dengan hukum. Tim Advokasi Keluarga David, Melissa Anggraini mengatakan mekanisme sistem peradilan pidana anak (SPPA) memang memberi jalan diversi hukum terhadap anak-anak yang berkonflik dengan hukum.
Meskipun pihak keluarga meminta agar kasus penganiyaan berat tersebut harus diselesaikan melalui mekanisme peradilan pidana. “Jadi terkait dengan diversi khusus untuk AG itu, memang secara normatif hukumnya diatur oleh undang-undang SPPA. Makanya secara formal, kejaksaan melakukan itu, dan keluarga (David) memaklumi apa yang dilakukan kejaksaan itu,” kata Melissa saat dihubungi Republika dari Jakarta, Selasa (21/3/2023).
Diversi hukum adalah sarana penyelesaian perkara pidana terhadap anak-anak di luar proses peradilan. Namun begitu dikatakan Melissa, ada pemahaman dan kesadaran hukum yang tinggi dari pihak keluarga korban untuk tetap meminta kasus penganiyaan terhadap David Ozora itu, diselesaikan melalui mekanisme pengadilan.
Termasuk terhadap AG yang berstatus anak berkonflik dengan hukum. “Kita dari pihak keluarga korban sejak awal memang juga menyampaikan secara lisan, agar kasusnya ini diselesaikan melalui persidangan,” ujar Melissa.
Tetapi, Melissa menerangkan kewajiban normatif dari tim kejaksaan yang mengupayakan diversi hukum untuk pelaku AG, juga mengharuskan adanya respons tertulis dari keluarga korban. Karena itu, Melissa menjelaskan, pihak keluarga juga bersurat ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta agar mekanisme pengadilan terhadap AG tetap menjadi pilihan yang utama.
“Jadi bukan bahasanya menolak (diversi hukum untuk AG). Tetapi secara formalitas, kita dari pihak keluarga tetap menyampaikan tidak membuka peluang adanya diversi yang normatif memang ada itu. Artinya kita, dari keluarga korban meminta agar kasus ini, juga untuk AG, tetap diselesaikan melalui mekanisme persidangan,” kata Melissa.
Pihak keluarga David, dikatakan Melissa, juga memahami realitas hukum acara yang ada saat ini, jika AG tetap diseret ke persidangan. Seperti realitas mekanisme persidangan yang tertutup terhadap AG. “Kami tidak mempersoalkan prosedur-prosedur normatif yang dikhususkan untuk AG sebagai anak berkonflik dengan hukum nantinya di persidangan. Seperti persidangan yang tertutup, dan yang lain-lain. Karena memang aturannya seperti itu, dan itu tidak bisa kita terabas,” ujar Melissa.
Pun bahkan ancaman pemidanaan terhadap AG yang terkesan tak sesuai harapan. Kata Melissa, keluarga memahami ancaman hukuman pidana terhadap AG sebagai anak berkonflik dengan hukum hanya setengah dari pemidanaan umum atas sangkaan. “Kita dari pihak keluarga sudah sangat memahami itu,” ujar Melissa.
Namun yang lebih penting dari pada itu, kata Melissa, pihak keluarga hanya menghendaki agar proses hukum dan persidangan kelak dapat menguak fakta dan kebenaran atas peristiwa sebenarnya yang terjadi. “Jadi, pihak keluarga korban, dan kita semua hanya mendorong kasus ini ke proses pemidanaan, agar terbuka semua peran-peran orang-orang yang terlibat, termasuk AG, mula dari perencanaan, sampai dengan perbuatannya,” ujar Melissa.
“Dan khusus AG ini, peran dia sebenarnya dapat terungkap dalam penganiyaan ini. Kalau terkait dengan prosedur dan ancaman pidana yang terbatas untuk AG ini, kita dari pihak keluarga sudah sangat memahami itu,” sambung Melissa.
Berkas perkara AG dinyatakan lengkap atau P-21 oleh kejaksaan, Selasa (21/3/2023). Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel) sebagai pengendali perkara kasus penganiyaan tersebut, akan segera melimpahkan kasus tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) untuk dapat disidangkan. AG saat ini, dalam penguasaan jaksa penuntut umum Kejari Jaksel yang ditempatkan khusus di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS) Jakarta.
Kepala Kejari Jaksel Syarief Sulaeman Nahdi mengatakan, tim penuntutannya diberi awaktu lima hari untuk pelimpahan berkas perkara AG ke persidangan.
AG terkait kasus penganiyaan terhadap korban David Ozora ini masih berusia 15 tahun. AG merupakan kekasih dari tersangka utama pelaku penganiyaan tersebut, yakni Mario Dandy. Bersama tersangka Shane Lukas, Mario sudah dalam tahanan di Polda Metro Jaya.
Terhadap tersangka Mario dan tersangka Shane dijerat dengan sangkaan Pasal 355 ayat (1) subsider Pasal 354 ayat (2), dan Pasal 353 ayat (2), juga Pasal 351 ayat (2) KUH Pidana, Pasal 76 C juncto Pasal 80 UU Perlindungan anak. Mario Dandy dan Shane Lukas dapat dipidana antara 12 sampai 15 tahun. Sedangkan AG dijerat dengan Pasal 76 C, juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak, subsider Pasal 355 ayat (1), Pasal 353 ayat (2), Pasal 351 ayat (2) juncto Pasal 56 KUH Pidana.
Syarief melanjutkan, dengan lengkapnya berkas perkara AG, artinya tertutup sudah peluang untuk dilakukan diversi hukum. “Diversi hukum untuk AG sebagai anak berkonflik dengan hukum ini sudah tertutup. Maka proses hukum yang berlaku terhadap yang bersangkutan (AG) tetap menjalani proses persidangan,” kata Syarief, di Kejari Jaksel, Selasa (21/3/2023).
Syarief menerangkan upaya diversi hukum tersebut, sudah jaksa lakukan. Mulai saat pelimpahan berkas perkara dari penyidik ke penuntutan. Sampai pada saat jaksa menyatakan perkara tersebut lengkap untuk naik sidang atau P-21.
Namun Syarief mengatakan, diversi hukum untuk AG tersebut tak dapat dilakukan karena tak terpenuhi syarat-syarat formal. Diversi hukum mengharuskan adanya partisipasi dari pihak keluarga korban. Yaitu berupa pemberian maaf dan kesediaan keluarga korban untuk penyelesaian perkara dengan cara nonyudisial.
Dalam hal tersebut, pihak keluarga David Ozora menyampaikan surat kepada jaksa agar AG tetap harus diproses di persidangan. “Jadi memang UU Peradilan Anak itu, ada langkah diversi. Tetapi dalam hal ini, pihak keluarga korban menyampaikan surat pernyataan menolak penyelesaian perkaranya di luar peradilan. Sehingga diversi hukum untuk AG tertutup dan AG sebagai anak berkonflik dengan hukum tetap dibawa ke pengadilan,” tegas Syarief.
Namun begitu kata Syarief menjelaskan, proses menuju ke persidangan terhadap AG, pun tetap mengacu pada UU SPPA. Dalam istilah penahanan, AG ditempatkan di tempat khusus di LPKS selama lima hari dan dapat diperpanjang tujuh hari. Penempatan khusus tersebut berbeda dengan penahanan dalam pidana umum biasanya yang mengharuskan tersangka ataupun terdakwa ditahan di rumah tahanan (rutan).
“Dalam lima hari tersebut, jaksa akan segera menyempurnakan surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan ke pengadilan,” ujar Syarief.
Dalam hal lainnya, kata Syarief, persidangan terhadap AG pun akan berbeda dengan peradilan umum seperti biasanya. Kata Syarief, jaksa yang akan menangani perkara AG di persidangan, adalah para penuntut umum dengan kualifikasi khusus perkara anak-anak.
Menurut Syarief kejaksaan akan menurunkan tujuh jaksa penuntut khusus anak-anak. AG sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, di pengadilan pun akan menjalani persidangan yang tertutup. “Kalau untuk anak-anak khusus sidangnya tertutup. Jaksa dan majelis persidangan juga tidak menggunakan atribut-atribut,” tutur Syarief.
Adapun soal ancaman pidana terhadap AG, statusnya sebagai anak berkonflik dengan hukum pun akan berbeda dari tersangka atau terdakwa pada umum. Sebagai anak yang berkonflik dengan hukum, AG hanya akan mendapatkan tuntutan separuh dari ancaman hukuman maksimal atas sangkaan normal para terdakwa umum.
Artinya jika terhadap terdakwa lain dalam kasus ini terancam antara 12 sampai 15 tahun penjara, terhadap AG, ancaman pidananya berkisar 6 tahunan penjara. “Jadi karena yang bersangkutan (AG) adalah anak yang berkonflik dengan hukum, semuanya itu dilakukan setengah dari yang umum,” ujar Syarief.