Gagalnya Pembuktian Senjata Pemusnah Massal Irak, Dosa Sejarah Intelijen Amerika Serikat?

Intelijen Amerika Serikat akui kesalahannya terkait senjata pemusnah massal di Irak

Jarome Delay/ AP
Patung Saddam diruntuhkan di Baghdad pada 2003. Intelijen Amerika Serikat akui kesalahannya terkait senjata pemusnah massal di Irak
Rep: Amri Amrullah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Di gedung Capitol Amerika Serikat, Rep Jason Crow menyimpan beberapa kenang-kenangan perang. Berjajar di rak adalah tanda pengenal militernya, sirip ekor mortir bekas, dan pecahan peluru yang dihentikan pelindung tubuhnya.

Baca Juga


Dua dekade lalu, Crow adalah pemimpin peleton berusia 24 tahun dalam invasi Amerika ke Irak. Anggota peleton membawa masker gas dan perlengkapan untuk dikenakan di atas seragam mereka demi melindungi diri mereka dari senjata kimia yang diyakini Amerika Serikat,  yang kemudian hari keliru, mungkin digunakan pasukan Irak untuk melawan mereka.

Hari ini, Crow duduk di komite yang mengawasi badan militer dan intelijen Amerika Serikat. Kesalahan dalam perang Irak masih segar dalam ingatannya.

“Bukan hiperbola untuk mengatakan bahwa itu adalah pengalaman yang mengubah hidup dan kerangka hidup, melalui yang saya lihat di banyak pekerjaan saya,” kata Demokrat Colorado.

Kegagalan Perang Irak sangat merubah agen mata-mata Amerika dan generasi perwira intelijen dan anggota parlemen. Mereka yang akhirnya membantu mendorong reorganisasi besar-besaran komunitas intelijen Amerika Serikat. 

Dimana CIA telah kehilangan peran pengawasannya atas agen mata-mata lainnya, dan reformasi dimaksudkan untuk memungkinkan analis mengevaluasi sumber dengan lebih baik dan menantang kesimpulan untuk kemungkinan adanya bias.

Tetapi pernyataan yang pada akhirnya salah tentang program senjata nuklir, biologi, dan kimia Irak, berulang kali dikutip untuk membangun dukungan untuk perang di Amerika dan luar negeri, itu telah merusak kredibilitas intelijen Amerika Serikat.

Sebanyak 300 ribu warga sipil tewas dalam dua dekade konflik di Irak, menurut perkiraan Universitas Brown. Amerika Serikat kehilangan 4.500 tentara dan menghabiskan sekitar 2 triliun dolar Amerika Serikat, hanya untuk Perang Irak, termasuk kampanye berikutnya di Irak dan Suriah. 

Yang mengampanyekan melawan kelompok Negara Islam ekstremis, dimana mereka telah menguasai kedua negara, setelah Amerika Serikat awalnya menarik diri pada 2011 lalu.

Penegasan itu juga menjadikan bahwa senjata pemusnah massal, hanya menjadi slogan yang masih digunakan oleh saingan dan sekutu, termasuk sebelum invasi Rusia ke Ukraina, yang diramalkan dengan benar oleh intelijen Amerika Serikat.

Avril Haines, Direktur Intelijen Nasional Amerika Serikat saat ini, mencatat dalam sebuah pernyataan bahwa komunitas intelijen telah mengadopsi standar baru untuk analisis dan pengawasan.

Baca juga: Arab Saudi-Iran Sepakat Damai Diprakarsai China, Ini Reaksi Amerika Hingga Negara Arab

“Kami mendapat pelajaran penting setelah penilaian kami yang cacat terhadap program senjata pemusnah masal aktif di Irak pada 2002,” kata Haines. 

“Sejak saat itu, misalnya, kami telah memperluas penggunaan teknik analitik terstruktur, menetapkan standar analitik di seluruh komunitas, dan meningkatkan pengawasan perdagangan. Seperti di setiap bagian dari pekerjaan kami, kami berusaha untuk mempelajari pelajaran yang memungkinkan kami untuk melestarikan dan memajukan pemikiran kami untuk memberikan efek yang lebih besar demi keamanan nasional kami.”

Hanya 18 persen orang dewasa Amerika Serikat yang mengatakan bahwa mereka sangat percaya pada badan intelijen pemerintah, menurut jajak pendapat terbaru dari The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research. Kemudian 49 persen mengatakan mereka memiliki sedikit kepercayaan diri dan 31 persen hampir tidak percaya diri.

Tak lama setelah serangan teroris 11 September 2001, Presiden George W Bush memerintahkan invasi ke Afghanistan, tempat Taliban yang berkuasa melindungi pemimpin Alqaeda, Osama bin Laden dan mengizinkan kelompok itu menjalankan kamp pelatihan. 

Pemerintahan Bush segera mulai memperingatkan tentang Irak, yang telah lama dianggap mengancam kepentingan Amerika di Timur Tengah. 

Irak diketahui telah mencari senjata nuklir pada 1980-an dan memiliki program senjata kimia dan biologi pada akhir Perang Teluk pada 1991. Irak dituduh menyembunyikan rincian tentang program-program itu dari inspektur internasional, sebelum dikeluarkan pada 1998.

Pemerintahan Bush berpendapat pemerintah Saddam Hussein masih menyembunyikan program nuklir dari pengawasan inspektur internasional setelah mereka masuk kembali ke negara itu pada 2002, namun Amerika Serikat tidak menemukan tanda-tanda dilanjutkannya produksi nuklir itu.

Perkiraan intelijen Amerika Serikat yang diterbitkan pada bulan Oktober 2002 menyatakan bahwa Irak telah mempertimbangkan untuk membeli uranium dari Niger dan tabung aluminium untuk sentrifugal. 

Irak juga dituduh sedang membangun laboratorium senjata bergerak, sedang mempertimbangkan untuk menggunakan drone untuk menyebarkan racun yang mematikan, dan memiliki persediaan senjata kimia hingga 500 ton.

Beberapa pejabat Amerika Serikat juga menyatakan pejabat Irak memiliki hubungan dengan para pemimpin Alqaeda meskipun ada bukti ketidakpercayaan yang mendalam antara kedua belah pihak.

Klaim tersebut sebagian besar akan dibantah dalam beberapa bulan setelah invasi. Tidak ada timbunan senjata yang ditemukan. Tinjauan selanjutnya menyalahkan klaim tersebut pada informasi yang sudah ketinggalan zaman, asumsi yang salah, dan campuran sumber yang tidak mendapat informasi dan perakit langsung.

Bush mengulangi temuan intelijen Amerika Serikat yang salah sebelum perang, seperti yang dilakukan Menteri Luar Negeri Colin Powell dalam pidato penting Februari 2002 di depan PBB.

“Dia bilang dia akan pergi ke kuburannya dengan belenggu Irak,” kata pensiunan Kolonel Larry Wilkerson, yang saat itu adalah kepala staf Powell dan kemudian menjadi kritikus terkenal pemerintahan Bush. Powell meninggal pada 2021.

Masih diperdebatkan dengan tajam apakah pemerintahan Bush akan memerintahkan invasi tanpa asumsi intelijen mengenai senjata pemusnah massal.

Baca juga: Perang Mahadahsyat akan Terjadi Jelang Turunnya Nabi Isa Pertanda Kiamat Besar?

Seorang juru bicara Gedung Putih mengatakan kepada The Washington Post pada tahun 2006, karena Irak telah jatuh ke dalam pemberontakan yang kejam, dimana Bush-lah, yang membuat keputusan untuk berperang di Irak berdasarkan intelijen yang diberikan kepadanya oleh komunitas intelijen.

Beberapa mantan pejabat intelijen berpendapat bahwa pemerintahan Bush memperluas informasi yang tersedia untuk mendukung perang, terutama atas dugaan hubungan antara Irak dan al-Qaida.

Kongres sudah memperdebatkan perubahan besar-besaran pada komunitas intelijen AS setelah serangan 11 September. Kegagalan intelijen sebagian karena kurangnya pembagian informasi antara CIA dan FBI.

Anggota parlemen pada 2004 membentuk Kantor Direktur Intelijen Nasional AS atau Office of the Director of National Intelligence (ODNI) untuk mengawasi badan-badan lain, mengambil fungsi kepemimpinan itu dari CIA. ODNI mengambil alih pengarahan intelijen harian yang diberikan kepada presiden dan Dewan Intelijen Nasional, yang terdiri dari analis top komunitas mata-mata. 

 

Pendukung mengatakan ODNI dapat menengahi di antara lembaga lain, yang seringkali memiliki keahlian dan budaya yang sangat berbeda. Sedangkan yang lain mengkritik ODNI sebagai lapisan birokrasi yang tidak perlu.

CIA mengubah program pelatihannya bagi para analis untuk menekankan studi alternatif dan penggunaan "tim merah" yang menantang kesimpulan. Itu juga memaksa lebih banyak berbagi informasi sehingga analis dapat mengevaluasi sumber laporan spesifik dengan lebih baik.

Michael Allen, yang bekerja di Gedung Putih era pemerintahan Bush dan menulis buku "Blinking Red" tentang perombakan intelijen pada 2004, mengatakan pejabat AS setelah Irak lebih cenderung menerima perbedaan pendapat dalam intelijen.

Allen mencatat sebagai contoh penilaian Departemen Energi baru-baru ini bahwa virus Covid-19 kemungkinan besar bocor dari laboratorium Cina. FBI juga mendukung hipotesis kebocoran laboratorium, tetapi lembaga lain mengatakan virus itu kemungkinan besar ditularkan dari hewan ke manusia atau menolak untuk mengambil sikap.

"Amerika Serikat belajar untuk tidak mengiyakan data informasi intelijen begitu saja, tetapi untuk benar-benar memeriksa dasar kesimpulan yang dibuat dan untuk mendengarkan pandangan berbeda di antara berbagai lembaga dalam komunitas intelijen," kata Allen, yang sekarang direktur pelaksana dari Washington-based Beacon Global Strategies.

Ukraina telah menjadi titik terang bagi intelijen Amerika Serikat. Pemerintahan Biden telah memberikan informasi kepada Kiev untuk Ukraina guna memperkuat pertahanannya dan mendeklasifikasi temuan intelijen tentang niat Rusia untuk mencoba memengaruhi Moskow dan membangun dukungan sekutu.

Dan sementara mereka dengan tepat memprediksi niat Rusia untuk menyerang, agen mata-mata salah percaya pasukan Ukraina akan jatuh dalam beberapa minggu.

Saat berada di Kongres, Crow telah mendesak badan-badan tersebut untuk meninjau kembali bagaimana mereka menilai kemampuan pemerintah asing untuk berperang. Intelijen AS dua tahun lalu salah memproyeksikan pemerintah yang didukung Washington di Kabul akan bertahan beberapa bulan setelah penarikan Amerika dari Afghanistan.

“Kami telah hidup dengan hantu Irak selama dua dekade dan itu memengaruhi kredibilitas kami,” kata Crow. “Sekarang kami mulai menemukannya lagi. Ini adalah kesempatan besar bagi kami untuk mempelajari pelajaran dari masa lalu dan melakukannya dengan lebih baik di masa mendatang.”

Tapi hantu-hantu itu tetap ada. Duduk di kantornya untuk wawancara baru-baru ini, Crow mengatakan dia memahami batasan dari apa yang dapat dilakukan militer dan pentingnya menggunakan angkatan bersenjata dengan benar.

Sambil Crow, mengenang perjalanan hidupnya, bahwa dia memang ingin mendaftar di Garda Nasional Wisconsin setelah lulus dari SMA swasta dan langsung bertugas aktif setelah kejadian 11 September 2001.

Dia juga menunjuk ke sebuah foto di dinding di seberang rak dengan kenang-kenangan Perang Iraknya. Termasuk foto kompi pasukannya di Fort Bragg, sebuah pangkalan Angkatan Darat di North Carolina, sebelum mereka ditugaskan pergi ke Timur Tengah.

“Ada pria di foto itu yang meninggal, yang sudah tidak ada di sini lagi,” katanya. "Aku juga memikirkan orang-orang itu," kenangnya.    

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler