Mahfud Minta Ormas Islam Kawal Pemilu 2024 Berjalan Sesuai Jadwal

Pemilu yang diundur berarti melanggar konstitusi.

Republika/Prayogi.
Menko Polhukam Mahfud Md. Mahfud Minta Ormas Islam Kawal Pemilu 2024 Berjalan Sesuai Jadwal
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD meminta organisasi masyarakat (ormas) Islam mengawal pelaksanaan Pemilu 2024 agar berjalan sesuai jadwal yang telah ditetapkan.

Baca Juga


"Salah satu tugas jangka pendek kita dalam masalah kebangsaan, menjaga agar Pemilu 2024 berjalan sesuai dengan yang dijadwalkan," kata Mahfud dalam acara Tadarus Kebangsaan dan Perumusan Peta Jalan Kepemimpinan Muslim Indonesia, Sabtu (25/3/2023).

Mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu menegaskan Pemilu 2024 tidak bisa diundur, karena jika diundur dapat melanggar konstitusi. Ia menjelaskan dalam konstitusi diatur pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali tidak boleh lewat sehari. Begitu pula dengan masa jabatan presiden lima tahun sekali tidak boleh lewat sehari.

Jika presiden dilantik pada 20 Oktober, maka tanggal 20 Oktober 2024 harus ada presiden baru yang dilantik. Jika tidak akan melanggar konstitusi.

Menurut Mahfud, aturan itu bisa saja diubah dengan cara mengubah konstitusi. Tetapi hal itu tidaklah mudah, karena harus diusulkan 1/3 pasal mana yang mau diubah, apa alasannya dan bagaimana rumusannya. Kemudian, dibentuk terlebih dahulu badan pekerja.

"Nanti kalau dapat 1/3 sih gampang, tapi sidangnya harus dihadiri 2/3 oleh anggota MPR," katanya.

Untuk mencapai 2/3 anggota MPR itu tidak mudah bila melihat konfigurasi politik yang terjadi saat ini di mana sebagian besar partai suara terbanyak menolak perpanjangan masa jabatan presiden, seperti PDIP, Demokrat, Nasdem, dan PKS.

"Ini sudah hampir separuh, endak akan ada sidang MPR," ujarnya.

Mahfud menyebut dalam keadaan tersebut negara bisa menjadi chaos (kacau) di mana masa jabatan habis dan presiden baru belum diangkat, karena oleh konstitusi tidak bisa diangkat. Aturan pengangkatan presiden saat ini berbeda dengan di zaman Orde Baru yang bisa diangkat oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara.

Sekarang MPR hanya join session antara DPR dan DPD, sehingga tidak bisa secara sepihak mengubah aturan. Jika dahulu, aturan membolehkan presiden diganti oleh wakil presiden bila berhalangan tetap. Dengan lima alasan berhalangan tetap, yaitu korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap negara, melakukan tindak pidana besar, dan melanggar etika.

"Etika ini harus diatur dengan undang-undang dulu. Tanpa ini presiden tidak bisa diberhentikan. Kalau ada ini, diberhentikannya juga lewat DPR," katanya.

Pemberhentian lewat sidang DPR ini juga tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama. Akhir dari putusan DPR itu dibawa ke Mahkamah Konstitusi, dan disidang juga memerlukan waktu lama. Namun, belum tentu putusannya sesuai diharapkan, bisa jadi dikembalikan ke DPR dan sidangpun batal dihentikan.

Dengan begitu, presiden bisa saja membeli 2/3 suara partai politik. Cari kesalahannya, dalam politik hal itu bisa terjadi.

Mahfud menegaskan memberhentikan presiden sekarang tidak seperti di era Orde Baru, dengan mendesak MPR untuk memberhentikan presiden. Tetapi diatur dalam konstitusi. Presiden juga tidak bisa digantikan oleh para menteri karena masa jabatan menteri berakhir dengan masa jabatan presiden.

"Oleh sebab itu, saya katakan jangan main-main dengan jadwal pemilu. Jangan main-main, itu mengundang kekacauan. Kalau saudara ingin memaksa pemilu itu ditunda," katanya.

Menanggapi permintaan Mahfud MD, Pimpinan Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) Kiai Said Aqil Siradj menyambut positif hal itu. "Top, saya setuju sekali," kata Said.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler