Masuk SD tak Harus Mahir Calistung, Orang Tua Pertanyakan Beratnya Materi Ajar Kelas 1

Tes calistung dihilangkan dari proses penerimaan peserta didik baru Sekolah Dasar.

Prayogi/Republika
Sejumlah murid berada di kelas usai mengikuti kegiatan pada hari pertama sekolah di SD Negeri Pajeleran 01, Cibinong, Bogor, Senin (18/7/2022). Sebagian orang tua mendukung dihapuskannya tes calistung sebagai syarat masuk SD, namun juga mengingatkan bahwa buku bacaan di SD cukup tebal dengan materi yang tahapannya bukan pramembaca sekalipun buku untuk siswa kelas 1.
Rep: Shelbi Asrianti Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dihapusnya tes baca, tulis, dan berhitung (calistung) sebagai syarat masuk sekolah dasar mendapat tanggapan positif dari orang tua. Pengumuman tentang peniadaan tersebut disampaikan oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim, Selasa (28/3/2023).

Sebenarnya, pelarangan tes calistung sebagai syarat masuk SD telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Demikian pula pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru. Akan tetapi, Nadiem kembali menyampaikannya pada peluncuran Merdeka Belajar Episode ke-24 di Jakarta, Selasa (28/3/2023).

Salah satu tanggapan positif datang dari Emmy Suaida, ibu dua anak yang berdomisili di Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Putri sulung Emmy, Naura Kamila Azzahwa, kini hampir berusia lima tahun dan sudah masuk ke jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD).

"Setuju, karena sebenarnya tahap membaca itu pada masa SD. Anak TK memang masih dalam tahap bermain. Mungkin di TK cukup pengenalan saja, tapi kalau anaknya bisa mengikuti, itu lebih bagus," kata Emmy kepada Republika.co.id, Rabu (29/3/2023).

Akan tetapi, Emmy menyoroti pula sisi lain dari kebijakan tersebut. Emmy yang berprofesi sebagai guru di SDN 1 Jatikerto, Kabupaten Malang, itu menyampaikan bahwa buku bacaan di SD cukup tebal dengan materi yang tahapannya bukan pramembaca sekalipun buku untuk siswa kelas 1 SD.

Itu membuat guru kewalahan apabila murid di SD belum bisa membaca. Demikian pula orang tua, pasti bingung jika anaknya tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah. Emmy berharap kurikulum Merdeka yang baru mulai diterapkan di beberapa kelas dapat mengatasi kendala itu.

Untuk saat ini, Emmy membiarkan Naura beraktivitas sesuai arahan guru PAUD, begitu juga Juli mendatang saat Naura masuk taman kanak-kanak (TK). Emmy tidak mau memaksakan Naura untuk bisa lekas menguasai calistung sebelum duduk di sekolah dasar.

Orang tua lain yang berdomisili di Depok, Azarine Hana Bastiyani, juga setuju dengan peraturan yang menghilangkan calistung sebagai syarat masuk SD/MI/sederajat. Menurut perempuan 32 tahun itu, syarat demikian dapat memberatkan bagi anak.

Azarine memiliki putri bernama Khaliluna Zaafarani Pranetya yang sekarang sudah duduk di bangku TK A. Bagi Azarine, porsi kegiatan di TK idealnya 70 persen bermain dan 30 persen belajar. Dia yakin anak usia 4-5 tahun perlu lebih banyak mengasah kreativitas.

"Sayang kalau harus dilewatkan dengan belajar yang porsinya terlalu berat," ujar Azarine.

Baca Juga


Setidaknya, menurut Azarine, dalam masa PAUD atau TK, anak-anak hanya mengenal angka atau huruf, tanaman, benda-benda, dan lainnya. Metodenya pun bisa diolah sedemikian menyenangkan sehingga anak bisa enjoy dalam belajar.

Apabila calistung jadi syarat masuk SD, berpotensi membuat sebagian orang tua menuntut anak menguasai kemampuan itu saat buah hatinya duduk di bangku TK B. Azarine kurang sepakat, sebab tingkat kematangan anak dalam menerima pelajaran berbeda-beda.

Tidak jarang, orang tua juga rela membayar lebih untuk kursus calistung anak. Jika demikian, anak yang belum siap secara mental terkadang menangis tantrum sehingga les menjadi tidak kondusif dan materi yang diberikan tidak diterima dengan baik oleh anak.

Itu karena sebagian orang tua khawatir anaknya belum bisa menguasai calistung ketika masuk SD. Mengenai kebijakan terkait peniadaan syarat itu pun dinilai Azarine harus dikaji lagi secara menyeluruh supaya tidak hanya sebatas kebijakan di atas kertas, namun harus sejalan dengan kurikulum dan buku paket.

Pasalnya, Azarine mendapati buku paket siswa SD dirancang seperti anak sudah bisa membaca dan menulis. Instruksi yang ada sangat mendetail untuk satu materi pelajaran dan latihan soal pun kebanyakan dikerjakan dengan menulis. Akibatnya, jika anak belum bisa menulis, kemungkinan akan tertinggal.

"Sebaiknya sih sambil jalan di jenjang kelas satu, anak baru diajarkan huruf dan mengeja kemudian ke pengenalan angka baru dikenalkan dengan hitung-hitungan," tutur Azarine.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler