Ramadhan: Bulan Cinta, Berbagi, dan Memaafkan

Ramadhan adalah bulan berpuasa orang-orang beriman.

Republika/Wihdan Hidayat
Umat Muslim menunaikan shalat tarawih di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta, Kamis (23/3/2023). Ada yang khas di Masjid Jogokariyan yakni shalat tarawih a la Madinah. Setiap shalat tarawih dengan bacaan 1 Juz.
Red: Erdy Nasrul

NANANG SUMANANG: Guru Sekolah Indonesia Davao, Filipina

Baca Juga


 

 

Musik yang haram itu adalah musik yang keluar dari suara sendok dan piring orang-orang kaya yang makan enak, dan kekenyangan, sementara masih banyak saudaranya kelaparan karena kemiskinan (Jalaludin Rumi)

  

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kutipan di atas adalah kutipan dari dialog antara Maulana Jalaludin Rumi dengan muridnya ketika Maulana Jalaludin Rumi ditanya tentang musik mana yang haram dan music mana yang halal  oleh seorang muridnya.

Situasi yang digambrakan oleh Rumi ternyata masih sangat relevan dengan situasi kita saat ini, dimana jurang kemiskinan antara yang punya dan yang tidak punya semakin melebar. Bukan hanya itu saja, tapi ada yang jauh lebih berbahaya, yaitu hilangnya rasa empati dari segelintir pejabat dan keluarganya yang berperilaku norak, yang dengan ”berbahagia” memamerkan barang-barang mewah yang sangat mahal yang dimilikinya di media sosial.

Entah itu barang didapatkan dari cara-cara yang halal ataupun didapatkan dari cara-cara yang tidak halal, tetapi memamerkan barang barang mewah dan mahal di tengah-tengah perekonomian negara dan masyarakat yang baru saja bersusah payah bangkit dari keterpurukan ekonomi akibat covid, dan juga sedang bersiap-siap menghadapi bayang-bayang krisis dunia yang ada di depan mata, adalah perbuatan yang sangat hina, tercela, norak dan tidak beradab.

Negara sedang giat-giatnya mengumpulkan dana pembangunan dari segala sektor. Tapi, ada beberapa pejabat dan keluarganya yang tega-teganya memamerkan kekayaannya dengan merek-merek terkenal luar negeri di media sosial, sebuah perilaku biadab yang bertentangan dengan Pancasila, dimana mereka yang harusnya menjadi tauladan dari kesederhanaan, malah menjadi pembunuh rasa empati dan rasa hormat rakyat kepada pengelola negara.

Kasus-kasus yang muncul dan viral ini hanyalah gunung es, yang muncul di permukaan dalam skala kecil. Padahal, masih banyak kasus-kasus lainnya yang belum terungkap, tersembunyi di bawah lautan, tertutup oleh gelombang yang sebentar akan menghancurkannya.

Ada kecendrungan yang sangat menyakitkan dan berbahaya di masyarakat, dimana orientasi hidup untuk mendapatkan kebahagiaan, rasa dihargai, rasa dihormati harus memiliki harta yang banyak, bukannya dari hasil kerja keras dan prestasi.

Teringat Ir. Sutami, seorang menteri dengan segudang prestasi, tapi hidup dalam kesederhanaan; Jembatan Semanggi-Jakarta, jembatan Ampera-Palembang, gedung DPR/MPR-Jakarta, Bandara I Gusti Ngurah Rai-Bali, bendungan Karangkates-Malang, dan masih banyak lagi prestasi mega-mega proyek yang  kalau beliau ingin kaya, sepertinya sangat mudah dilakukan, tetapi beliau meninggal dalam keadaan yang sangat sederhana.

Bahkan ketika sakitpun beliau tidak pergi ke rumah sakit karena tidak mempunyai uang, sehingga ketika ada jaminan dari pemerintah yang akan menanggung semua biaya pengobatan, baru beliau mau dirawat di rumah sakit. Beliau mendapatkan kehormatan, kemuliaan, dan penghargaan rakyat karena prestasi yang luar biasa, serta integritas kepribadiannya yang tinggi, bukan karena jabatan atau hartanya.

Di bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan seharusnya kita semua harus  bermuhasabah (menghitung diri dan berkaca diri), terutama bagi orang-orang yang mengaku beriman kepada Tuhan YME.

Ramadhan adalah bulan berpuasa orang-orang beriman, sejak terbitnya fajar, hingga terbenamnya matahari. Berpuasa dari lapar dan haus, dan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, serta memperbanyak ibadah.

Dalam Ramadhan, spiritual, intelektual, mental dan moral kita diasah dengan cara selalu menghubungkan diri kita dengan sang Khalik. Kesombongan-kesombongan intelektual yang selalu melakukan pembenaran harus dibunuh dengan cara mendaras ayat-ayat suci, dia harus tunduk dengan firman-firman Tuhan. Mental yang lahir dari resultannya spiritual dan intelektual, yang biasanya ujub takabur sesat dan menyesatkan harus dilenyapkan dengan merasakan senasib dan sependeritaan dengan orang lain. Dari spiritual yang selalu dikaitkan dengan al_khaliq, intelektual yang diasah oleh daras kitab suci, dan moral yang ditajamkan oleh sepenanggungan dan sependeritaan bahwa kita adalah satu sebagai manusia, diharapkan akan melahirlkan moral yang lebih baik lagi, yang saling menghargai dan menghormati antar sesame.

Hikmah yang terkandung dalam menahan lapar dan haus bukan hanya bisa dilihat dari segi kesehatan saja yang memang sangat bermanfaat, tetapi jauh dari itu diharapkan orang yang sedang berpuasa dapat merasakan rasa haus dan laparnya orang yang tidak punya, yang pada akhirnya dapat menimbulkan, mengasah dan mempertajam empati dan rasa kasih sayang kita (loving) kita kepada orang-orang yang nasibnya mungkin tidak sebaik kita. Cinta, empati, dan membela  kaum lemah, fakir miskin dan orang yang tidak mampu tahapan awal dari pensucian jiwa dan harta orang yang berpuasa.

Cinta dan empati tidak hanya tersimpan dalam hati saja, tetapi dia harus diwujudkan dalam perbuatan sebagai bukti dari rasa cinta dan empati. Perwujudan cinta dan empati kepada orang-orang fakir-miskin dapat diwujudkan dengan memberikan perhatian, senyuman, bersilaturahmi, berkunjung, mendengarkan keluh kesahnya, menyeka airmatanya, membantu membangunkan semangat masa depannya. Simbol dari semua yang di atas adalah  dengan cara membayarkan zakat fitrah dan zakat mal. Zakat fitrah adalah pribadi yang dibayarkan pada Ramadhan sebelum Idul Fitri, sementara zakat mal adalah sharing harta yang dimilikinya kepada orang-orang yang membutuhkannya yang terdapat dalam delapan ashnab (golongan). Secara bahasa zakat berarti “membersihkan” yaitu membersihkan jiwa kita dari rasa sombong, egois, biadab, tidak tahu diri, rakus, serakah dan sebagainya. Zakat juga membersihkan harta-harta kita yang kadang secara sengaja maupun tidak masih ada harta haknya orang lain, anak yatim, fakir miskin dan orang-orang teraniaya terbawa dalam harta kita. Terakhir zakat dapat juga membersihkan masyarakat kita dari kefakiran, kemiskinan, ketidak berdayaan, dan kesulitan-kesulitan hidup lainnya.

Berpuasa Ramadhan berakhir dengan suasana suka cita, dimana orang-orang yang berpuasa merayakan Idul Fitri atau biasa disebut dengan Lebaran. Istilah lebaran berasal dari kata “lebar” yang dalam beberapa suku di Indonesia bisa dimaknai dengan beberapa arti”

Lebar dalam bahasa Betawi berarti “lapang”, “luas” atau “lega” makna ini mengandung pemahaman bahwa apabila kita sudah melaksanakan puasa Ramadhan dengan penuh keimanan akan mendatangkan kelegaan hati, kelapangan dan kebahagiaan. “Lebaran” juga diartikan dengan kelapangan hati, keikhlasan untuk saling memaafkan.

Dalam bahasa Jawa, lebar, yang bisa juga diambil dari kata “wis bar” yang berarti sudah selesai, artinya lebaran adalah peristiwa memperingati sudah berakhirnya berpuasa selama sebulan penuh. 

Dalam bahasa Sunda, mengenal dua ungkapan untuk merayakan Idul Fitri yaitu; Boboran siyam dan lebaran. Lebaran dalam bahasa Sunda berasal dari kata “Lebar”  berarti melimpah ruah, yaitu ungkapan kebahagiaan dimana orang yang berpuasa merasakan keberkahan yang melimpah ruah setelah berpuasa sebulan lamanya. Melimpahnya berkah juga kemudian disempurnakan dengan saling memaafkan di antara sesama..

Di beberapa daerah arti kata “lebar” mengidentifikasikan bahwa puasa selama Ramadhan sudah berakhir, dirayakan dengan suka cita sambil bersilaturahmi dan  saling memaafkan.

Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa  setelah selesai salat Idul Fitri, Rasulullah yang agung tiba-tiba mengucapkan amin, amin, amin, sebanyak tiga kali. Lalu para sahabatpun bertanya kepada beliau. 

Lalu Rasulullah SAW-pun bercerita bahwa setelah selesai salat Idul Fitri, malaikat Jibril datang dan kemudian malaikat Jibril meminta Rasulullah SAW untuk mengamini doa yang akan dipanjatkan oleh malaikat Jiberil kepada Allah SWT. Rasulullahpun bersedia mengaminkannya.

"Ya Allah SWT saya memohon kepada kepadaMu, jangan Engkau terima puasanya anak yang durhaka kepada ibu dan bapaknya," doa Jibril. Doa itu langsung diamini oleh Rasulullah.

"Ya Allah SWT saya memohon kepada kepadaMu, jangan Engkau terima puasanya istri yang durhaka kepada suami," doa Jibril. Doa itu langsung diamini oleh Rasulullah.

"Ya Allah SWT saya memohon kepada kepadaMu, jangan Engkau terima puasanya muslim yang tak mau memaafkan saudaranya sesama muslim," doa Jibril. Doa itu kembali diamini oleh Rasulullah.

Pelajaran dari hadits di atas, intinya, bahwa sesungguhnya dalam pergaulan hidup manusia harus saling bisa memaafkan.(forgiving); seorang anak mendatangi kedua orang tuanya untuk memohonkan maaf dan ampunan, seorang istri meminta maaf dan ridlo kepada suaminya, dan sesama manusia juga saling memaafkan.

Dari sinilah kemudian para ulama kita, ketika Idul Fitri, selain membaca doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, juga ditambahkan dengan kata-kata “Mohon maaf lahir dan batin”.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler