Netanyahu akan Lanjutkan Upaya Rombak Sistem Yudisial Israel

Netanyahu menunda proses legislasi guna membuka ruang untuk bernegosiasi.

AP Photo/Oded Balilty
Warga Israel memprotes rencana pemerintah baru Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk merombak sistem peradilan, di Tel Aviv, Israel, Rabu (1/3/2023).
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Menteri Transportasi Israel Miri Regev mengatakan, pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu akan melanjutkan proses legislasi untuk mereformasi sistem yudisial di negaranya. Netanyahu diketahui telah menunda proses tersebut akhir bulan lalu setelah gelombang penolakan publik atas inisiatif perundang-undangan itu tak kunjung reda.

“Reformasi hanya ditunda (sementara) dan ada tanggal (diketahui) untuk sesi berikutnya. Segera setelah Hari Kemerdekaan (pada 25 April), kami melanjutkan undang-undang (UU) tersebut,” kata Regev dalam sebuah pernyataan yang dipublikasikan di surat kabar Jerusalem Post, Ahad (2/4/2023).

Dia menjelaskan, Netanyahu menunda proses legislasi guna membuka ruang untuk bernegosiasi. “Namun jika tidak ada, kami akan membawanya untuk konfirmasi ulang,” ucapnya.

Sementara itu, dalam rapat kabinet yang digelar Ahad lalu, Netanyahu mengungkapkan, pencapaian kesepahaman dengan oposisi atas inisiatif perombakan sistem yudisial dimungkinkan. “Kami saat ini sedang dalam proses dialog dengan tujuan mencapai konsensus luas,” ujarnya, dikutip Anadolu Agency.

Netanyahu mengingatkan, sebelum pemilu pada November 2022, banyak pemimpin oposisi saat ini mendukung perubahan mendasar dalam sistem peradilan. “Oleh karena itu, ada dasar pemahaman dengan pihak oposisi yang dapat dicapai dengan iktikad baik dan dialog nyata,” katanya.

Menanggapi hal tersebut, Ketua Partai Yisrael Beytenu Avigdor Liberman telah meminta partai-partai oposisi Israel membekukan negosiasi dengan pemerintahan Netanyahu mengenai UU reformasi yudisial. “Berhenti menjual ilusi dan melakukan negosiasi sebagaimana adanya, ketika semua orang tahu bahwa pada akhir proses ‘negosiasi’, Netanyahu akan, seperti biasa, menghasut dan menyalahkan oposisi serta seluruh dunia karena tidak mencapai kesepakatan. Dia (Netanyahu) punya rencana jelas untuk meloloskan UU, jangan sampai itu terjadi,” tulis Liberman lewat akun Twitter resminya.

Akhir bulan lalu Netanyahu akhirnya mengumumkan jeda dalam upaya legislasi yang dimaksudkan merombak sistem peradilan di negaranya. Langkah itu diambil setelah gelombang penolakan dan demonstrasi atas inisiatif tersebut kian masif. “Dari rasa tanggung jawab nasional, dari keinginan untuk mencegah perpecahan di antara rakyat kita, saya telah memutuskan untuk menghentikan pembacaan kedua dan ketiga dari rancangan undang-undang (RUU) tersebut,” kata Netanyahu dalam pidatonya pada 27 Maret lalu.

Netanyahu mengaku ingin menghindarkan Israel dari perang saudara akibat pergolakan yang timbul dari upaya mereformasi sistem yudisial. “Ketika ada kesempatan untuk menghentikan perang saudara melalui dialog, saya sebagai perdana menteri meluangkan waktu untuk berdialog. Saya memberikan kesempatan nyata untuk dialog nyata,” ucapnya.

Kendati demikian, Netanyahu tetap bertekad mendorong pengesahan RUU reformasi sistem yudisial. “Kami mendukung kebutuhan untuk melakukan perubahan yang diperlukan pada sistem hukum dan kami akan memberikan kesempatan untuk mencapainya melalui konsensus yang luas,” ujarnya.

“Bagaimanapun, kami akan melewati reformasi yang akan memulihkan keseimbangan yang telah hilang antara cabang-cabang pemerintahan sambil mempertahankan – dan, saya tambahkan penguatan hak-hak individu,” kata Netanyahu menambahkan.


Pemerintahan Netanyahu telah mendorong RUU yang akan membatasi kekuasaan Mahkamah Agung untuk memerintah legislatif dan eksekutif. Selain itu, parlemen Israel (Knesset) akan diberi kekuasaan untuk mengesampingkan keputusan Mahkamah Agung jika mencapai mayoritas sederhana, yakni didukung 61 dari 120 anggota.

Proposal kedua akan menghilangkan kewenangan Mahkamah Agung untuk meninjau legalitas UU Dasar Israel, yang berfungsi sebagai konstitusi negara. Publik Israel, yang telah berdemonstrasi selama tiga bulan terakhir, khawatir reformasi hukum dapat mengurangi check and balances di internal Israel.

Reformasi yang didorong pemerintahan Netanyahu juga akan mengubah cara hakim Mahkamah Agung dipilih. Politisi akan diberi kekuatan dalam menentukan hakim. Panel independen untuk memilih hakim saat ini membutuhkan politisi dan hakim yang duduk di dalamnya untuk menyepakati pengangkatan. Proposal ini akan mengubah hal tersebut, memberi pemerintah pengaruh yang jauh lebih besar.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler