Penyebab Kemunduran Umat Islam Menurut Cendekiawan Pakistan dan Apa Kata Ibnu Khaldun?

Umat Islam mengalami kemunduran karena faktor internal

Republika/Yasin Habibi
Umat Islam (ilustrasi). Umat Islam mengalami kemunduran karena faktor internal
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Apakah penyebab kemalangan umat Islam merupakan rongrongan pihak luar, tetapi siapa pihak yang patut disalahkan? 

Baca Juga


Muslim Civilization: The Causes of Decline and the Need for Reform merupakan salah satu karya yang patut diperhitungkan. Buku karangan intelektual Pakistan, Muhammad Umar Chapra, itu dengan tajam menganalisis sejumlah dugaan yang menyebabkan surutnya pengaruh Islam di kancah global.

Bagi Chapra, pertanyaan-pertanyaan krusial semacam itu patut disoroti terlebih dahulu, sehingga dapat ditemukan langkah-langkah apa yang seharusnya dikerjakan untuk memperbaiki kondisi para pemeluk agama ini.

Kebanyakan peneliti, menurut dia, menjadikan abad ke-12 sebagai patokan. Artinya, sebelum kurun waktu tersebut umat Islam pada umumnya belum begitu tertinggal. Beberapa di antara mereka menyebutkan bahwa faktor terpenting dari kemunduran umat Islam adalah kemerosotan moral dan hilangnya sikap dinamis di tengah komunitas ini.

Hal tersebut diperparah dengan meluasnya sikap dogmatis dan kekakuan (rigidity). Beberapa juga menilai faktorfaktor yang lebih bersifat fisik, semisal munculnya peperangan dan invasi atas banyak wilayah umat Islam.

Dugaan lainnya adalah menurunnya aktivitas intelektual dan sains, sedangkan golongangolongan non-Islam justru berpacu melakukannya.

Di tengah nuansa suram itu, Chapra menyuarakan optimisme yang mendasar. Sebab, jarang sekali ada komunitas di dunia yang hidup berkelanjutan selama lebih dari 1.400 tahun. Umat Islam terbukti merupakan suatu komunitas yang mampu bertahan, tidak kunjung punah, meski diterpa macam-macam tantangan zaman.

Maka dari itu,kata dia, perlu dipahami juga bahwa kemunduran kaum pengikut Nabi Muhammad SAW bukanlah sebuah fenomena yang terjadi serta-merta. Mereka masih memiliki potensi yang besar.

Bila diibaratkan dengan seseorang yang mengikuti perlombaan maraton, umat Islam bukanlah pelari yang lumpuh sama sekali atau tersungkur di tepi gelanggang.

Dia hanya sedang terluka, sehingga untuk sementara waktu hanya mampu berjalan cepat, belum sampai berlari melesat. Semangat menyongsong masa depan, itulah pesan yang coba dihadirkan dalam buku setebal 210 halaman itu.

Untuk dapat melangkah dengan baik, menurut penulisnya, umat Islam juga perlu menyadari arti penting dua hal ini, yakni sumber ajaran dan pengalaman sejarah. Ihwal yang pertama tentu saja berkaitan dengan Alquran dan sunnah.

Baca juga: 6 Fakta Seputar Saddam Hussein yang Jarang Diketahui, Salah Satunya Anti Israel  

Secara eksplisit, Chapra mengajak pembaca karyanya untuk memiliki kecenderungan kembali pada esensi agama ini. Dia mengutip sejumlah ayat Alquran yang menegaskan bahwa manusia sendiri merupakan arsitek takdir yang dijalaninya.

Di antaranya, Allah SWT tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. (QS Ar-Ra'd ayat 11).

Rasulullah SAW sendiri telah melarang umatnya untuk menjadi fatalis. Dengan pemahaman demikian, mengkaji sebab-sebab kemunduran justru men jadi langkah awal menuju kebangkitan.

Poin kedua, yakni jalannya sejarah yang telah dilalui umat Islam. Tentu saja ada banyak peristiwa yang saling berkaitan sehingga membentuk keadaan yang kini dialami mereka. Chapra menyebut beberapa pemikir yang berupaya mendedah teori tentang timbul tenggelamnya suatu peradaban.

 

 

Bagaimanapun, dia memilih teori yang dihadirkan Ibn Khaldun (1332-1406) di dalam Muqaddimah. Menurut Chapra, di antara keunggulan model Ibn Khaldun adalah sifatnya yang multidispliner dan dinamis.

Model itu menghubungkan segenap variabel sosio-ekonomi dan politik yang penting, termasuk otoritas politik, penerapan hukum Islam, rakyat, sumber daya dan kekayaan, pembangunan, serta keadilan. Semua itu disajikan dalam bagan yang berbentuk siklus karena tidak ada satu pun variabel yang konstan.

Delapan butir nasihat Ibn Khaldun tentang peradaban atau yang diistilahkannya sebagai kalimat hikamiyyah adalah (1) bahwa kekuatan negara (almulk) tidak berwujud kecuali melalui penerapan hukum syariat, (2) hukum syariat tidak bisa diterapkan kecuali oleh negara, (3) negara tidak bisa dikuatkan kecuali melalui rakyatnya, (4) rakyat tidak bisa terus hidup berkelanjutan kecuali dengan harta atau kekayaan, (5) kekayaan tidak bisa diperoleh kecuali melalui pem bangunan, (6) pembangunan tidak bisa dicapai selain melalui keadilan, (7) keadilan adalah kriteria yang dengannya Allah akan mengevaluasi umat manusia, dan (8) kedaulatan diharuskan dengan pertang gungjawaban tentang mewujudkan keadilan.

Hal lain yang membuat Chapra memilih model Ibn Khaldun adalah fokusnya pada manusia. Artinya, timbul tenggelamnya suatu peradaban amat bergantung pada kondisi sejahtera atau menderitanya manusia.

Bila manusia menjadi pusat perhatian, kata Chapra, pembangunan dan keadilan menjadi hal-hal yang paling krusial dalam siklus sebab-akibat jatuh bangunnya suatu peradaban. Dalam pandangan Ibn Khaldun, pembangunan tidak melulu mengenai ekonomi, tetapi juga kognitif dan spiritual.

Baca juga: Yang Terjadi Terhadap Tentara Salib Saat Shalahuddin Taklukkan Yerusalem

Pembangunan tidak mungkin terjadi tanpa mengindahkan keadilan. Chapra menggarisbawahi luasnya dimensi keadilan dan ketidakadilan dalam pemikiran Ibn Khaldun.

Bapak sosiologi itu menekankan, kebijakan apa pun yang tidak didasari syariat dan memaksa orang-orang untuk menyerah kan harta dan tenaganya kepada penguasa adalah kebijakan yang tidak adil.

 

Pembangunan yang dijalankan melalui kebijakan-kebijakan yang tidak adil hanya memunculkan kemerosotan di tengah masyarakat. Bab berikutnya lebih sebagai kilas balik tentang apa saja yang dinilai membangkitkan peradaban Islam pada masa lalu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler