Konflik Sudan Disebut Bisa Jadi Perang Saudara Terburuk di Dunia
Konfik bersenjata di Sudan pecah sejak 19 April 2023.
REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Mantan perdana menteri Sudan Abdalla Hamdok memperingatkan bahwa konflik yang saat ini tengah berlangsung di negaranya dapat berubah menjadi salah satu perang saudara terburuk di dunia. Menurutnya, sebelum kondisinya terus memburuk, harus ada upaya untuk menghentikan pertempuran.
"Tuhan melarang jika Sudan mencapai titik perang saudara yang tepat... Suriah, Yaman, Libya, akan menjadi permainan kecil. Saya pikir ini akan menjadi mimpi buruk bagi dunia," kata Hamdok dalam percakapan dengan taipan telekomunikasi kelahiran Sudan, Mo Ibrahim, di sebuah acara di Nairobi, Sabtu (29/4/2023), dikutip laman Al Arabiya.
Hamdok mengungkapkan, pertempuran yang saat ini berlangsung antara kubu militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) merupakan perang tak masuk akal. "Tidak ada seorang pun yang akan keluar dari kemenangan ini. Oleh karenanya, ini harus dihentikan," ujarnya.
Hamdok adalah perdana menteri pemerintahan transisi Sudan. Militer kemudian menggulingkannya dan menahannya dalam kudeta. Hamdok sempat dipekerjakan kembali, tapi dia memilih mengundurkan diri pada Januari lalu. Pada 15 April lalu, pertempuran pecah antara militer Sudan dan kelompok RSF.
Militer Sudan dipimpin Jenderal Abdel Fattah al-Burhan. Sementara RSF diketuai Jenderal Mohamed Hamdan Daglo. Sebelum berkonflik, kedua jenderal itu merebut kekuasaan dalam kudeta tahun 2021 yang menggagalkan transisi Sudan menuju demokrasi.
Harapan Sudan hidup di bawah payung demokrasi muncul setelah militer menggulingkan mantan presiden Omar al-Bashir pada 2019. Dia dilengserkan setelah memerintah Sudan selama 26 tahun.
Pertempuran antara militer Sudan dan RSF ditengarai karena rencana integrasi RSF ke dalam tentara reguler.
Lebih dari 500 orang sudah dilaporkan tewas sejak konfrontasi bersenjata pecah pada 15 April lalu. Menurut PBB, sekitar 75 ribu orang telah mengungsi akibat pertempuran di Khartoum serta di negara bagian Blue Nile dan Kordofan Utara, serta wilayah barat Darfur.
Belum adanya tanda-tanda pertempuran bakal berakhir telah mendorong negara-negara untuk mengevakuasi para diplomat dan warganya dari Sudan. Keputusan mengevakuasi diperkuat karena pasokan kebutuhan pokok, termasuk bahan bakar, yang kian menipis di sana. Tekanan diplomatik telah meningkat agar militer Sudan dan RSF segera menerapkan gencatan senjata.