Jangan Sombong, Kita Ini Semua Buruh Oligarki!

Mereka yang bekerja demi mendapatkan upah dalah buruh.

AP Photo/Dita Alangkara
Buruh berbaris saat demonstrasi May Day di Jakarta, Senin (1/5/2023). Buruh dan aktivis di seluruh Asia memperingati May Day dengan protes menyerukan gaji yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik, di antara tuntutan lainnya.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Satu waktu saya tidak sengaja bertemu dengan seorang mantan menteri di sebuah acara. Di pertemuan singkat itu kami bertukar pikiran tentang masa depan pekerja di Indonesia. Beliau menyampaikan gagasan yang cukup menyengat, yakni ke depannya ada baiknya tidak ada pegawai tetap, semuanya akan bekerja dalam jangka waktu tertentu alias kontrak atau pekerja outsourcing.

Gagasan atau pola pikir yang disampaikannya bukan tanpa landasan --setidaknya menurut dia. Dia beralasan, jika sebuah perusahaan mendapatkan pesanan atau kerja sama dengan perusahaan lain dalam jangka waktu tertentu, misalnya hanya lima tahun, berat jika perusahaan itu mengangkat karyawan baru menjadi karyawan tetap di tahun kedua. Padahal belum tentu pada tahun kelima perusahaan itu akan mendapatkan kerja sama serupa. "Anak muda sekarang lebih sukanya jadi freelance, bekerja kapan saja dan dari mana saja. Sesuka hati, tanpa terikat," klaim dia.

Meski itu hanya sekadar gagasan, bisa jadi gagasan itu akan terjadi atau bahkan tanpa kita sadari sebenarnya pola kerja kontrak atau  outsourcing sudah berlangsung dan sulit dihilangkan dari dunia kerja Indonesia. Pekerja bekerja tanpa kontrak, bekerja dengan menandatangani kontrak setiap tahun, atau bahkan menjadi pekerja outsourcing di mana tidak terikat langsung dengan perusahaan tempatnya bekerja.

Selama ini 1 Mei yang saban tahun diperingati sebagai Hari Buruh "hanya" terfokus kepada para pekerja di pabrik-pabrik atau para pekerja kasar. Persoalan kesejahteraan yang diperjuangkan seolah "hanya" untuk para buruh pabrik yang merasa cukup banyak haknya yang belum terpenuhi, bahkan (diklaim sebagian pihak) dikebiri.

Padahal, semua orang yang bekerja dan masih mendapatkan upah adalah buruh. Yup, kita semua yang bekerja dan mendapatkan gaji setiap bulannya adalah buruh. Pekerja pabrik, guru honorer, satpam, karyawan bank, mba-mba dan mas-mas SCBD di berbagai industri juga bisa disebut buruh. Termasuk kami para wartawan.

Di dalam masyarakat, pengertian buruh adalah orang yang bekerja di wilayah-wilayah "kasar" seperti pekerja bangunan atau pabrik. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan buruh adalah orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah, sedangkan karyawan adalah orang yang bekerja pada suatu lembaga (kantor, perusahaan, dan sebagainya) dengan mendapat gaji (upah).

Baik buruh atau karyawan sama-sama pekerja yang mendapatkan upah dengan status karyawan tetap atau kontrak. Hak-hak yang diperjuangan para "buruh pabrik" yang disuarakan lewat asosiasi sebenarnya juga memperjuangkan para karyawan yang ketika bekerja mungkin berpakaian lebih rapi, wangi, dan parlente atau anggun. Padahal saban awal bulan sama-sama menunggu transferan gaji ke rekening bank, sedangkan di akhir bulan kantong sama-sama cekak karena gaji terkuras kebutuhan. Walau ada karyawan yang enggan disamakan dengan buruh, di mata saya tetap saja status pekerja yang mendapatkan upah adalah sama: buruh kasar atau halus. Kita semua ini buruh, buruh dari oligarki.

Oligarki berasal dari bahaya Yunani berarti "aturan oleh sedikit" yang bisa diartikan sebagai bentuk struktur kekuasaan di mana kekuasaan berada di tangan segelintir orang yang memiliki beberapa karakteristik, seperti bangsawan, ketenaran, kekayaan, pendidikan, atau kontrol perusahaan, agama, politik, atau militer.

Sepanjang sejarah manusia dan pemerintah baik sistem monarki atau republik, oligarki sering bersifat tirani, mengandalkan kepatuhan atau penindasan publik untuk eksis. Aristoteles mempelopori penggunaan istilah sebagai aturan yang berarti orang kaya atau plutokrasi.

Pada awal abad ke-20 Robert Michels mengembangkan teori bahwa demokrasi, seperti semua organisasi besar, cenderung berubah menjadi oligarki. Dalam "hukum besi oligarki", Michels menyarankan pembagian kerja yang diperlukan dalam organisasi besar mengarah pada pembentukan kelas penguasa yang sebagian besar peduli dengan melindungi kekuasaan mereka sendiri.

Sementara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Oligarki istilah untuk pemerintahan di mana struktur kekuasaannya dikuasai sekelompok kecil orang luar atau beberapa individu terpilih guna mengendalikan keputusan para pemimpin atau pemerintah, walaupun oligarki tidak pernah digunakan sebagai istilah resmi untuk bentuk pemerintahan karena hanya digunakan sebagai bentuk kritik kepada para orang kaya yang berkuasa.

Sistem pemerintah oligarki memiliki sejumlah ciri-ciri. Pertama kekuasaan dan uang tak bisa dipisahkan karena mempengaruhi masalah politik, motivasi, dan kapasitas. Kedua kekuasaan dikendalikan kelompok kecil masyarakat yang memiliki uang. Sudah menjadi rahasia umum jika mereka yang memiliki uang, kekayaan, dan kedudukan akan mudah masuk dalam sendi-sendi pemerintahan.

Ciri-ciri berikutnya adalah kesenjangan dan ketidaksetaraan dari sisi materi. Sebab dalam sistem pemerintahan, orang kaya akan lebih menonjol daripada kelompok lain yang miskin materi. Kasus ini biasanya menimbulkan konflik sosial berkepanjangan di masyarakat sehingga menyebabkan kemiskinan meningkat, sementara wakil rakyat dan pemimpinnya semakin kaya.

Terakhir adalah kekuasaan digunakan untuk mempertahankan kekayaan. Seperti kata pepatah, siapa yang punya uang, dia yang akan berkuasa. Sehingga untuk mempertahankan kekayaan wajib hukumnya untuk tetap berkuasa atau menjadi penguasa.

Di peringatan Hari Buruh, beberapa hal yang disuarakan para buruh pada perayaan May Day adalah pencabutan UU Cipta Kerja (UU Cipataker), pencabutan aturan terkait parliamentary threshold atau ambang batas parlemen, dan penolakan Rancangan UU Kesehatan omnibus law dan dorongan pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, reforma agraria dan kedaulatan pangan. Namun yang paling mendesak adalah pencabutan UU Cipta Kerja yang dinilai tidak menguntungkan para pekerja alias buruh, terutama terkait upah, status kepegawaian, dan pesangon.

Penetapan upah sebelumnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 dengan acuan pertumbuhan ekonomi dan inflasi. Dalam UU Ciptaker, pengaturan upah hanya mengacu pada inflasi saja atau pertumbuhan ekonomi. Di sebagian wilayah yang upah minimumnya tergolong rendah, seperti Jawa Tengah atau Yogyakarta, aturan tersebut dinilai tidak menguntungkan untuk para pekerja. Kenaikan upah disebut tidak sebanding dengan harga-harga kebutuhan pokok yang naik tinggi. Sehingga tuntutan upah yang layak sangat penting agar buruh dan keluarganya bisa hidup sejahtera, mendapatkan kesempatan mengenyam pendidikan tinggi, dan tidak terpeleset ke lingkaran kemiskinan.

Dalam Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun 2023 memperbolehkan perusahaan padat karya berorientasi ekspor memotong upah sampai dengan 25 persen selama enam bulan dengan alasan krisis ekonomi global. Bagi buruh yang memiliki upah relatif kecil tentu saja tidak menguntungkan.

Selain itu, berlakunya UU Cipta Kerja membuat para pekerja kesulitan mendapatkan status kepegawaian tetap atau pekerja perjanjian kerja waktu tertentu, karena hampir semua pekerja berstatus sebagai tenaga kontrak. Di situasi ini para pekerja yang direkrut berada di posisi hukum yang lemah. Sehingga para pegawai yang tidak berada di posisi kuat secara hukum lebih banyak memilih diam, daripada menjadi sasaran tembak pemecatan.

Lantas apakah buruh Indonesia tak bisa hidup nyaman dan sejahtera? Saya belum bisa menjawabnya.



BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler