ASEAN Sambut Upaya Myanmar Repatriasi Pengungsi Rohingya
ASEAN mendukung Myanmar untuk menciptakan perdamaian di Negara Bagian Rakhine
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – ASEAN menyambut kerja sama antara Myanmar dan Bangladesh untuk memulai proses repatriasi pengungsi Rohingya. ASEAN menyatakan mendukung upaya Myanmar menghadirkan perdamaian di Negara Bagian Rakhine, wilayah yang dihuni etnis Rohingya.
“Kami mencatat keterlibatan serta kerja sama antara Myanmar dan Bangladesh dalam proses repatriasi, terutama pada hasil negosiasi antara Myanmar dan Bangladesh untuk memulai gelombang pertama repatriasi lebih dari seribu orang telantar yang diverifikasi pada pertengahan Mei di bawah proyek percontohan serta rencana untuk menerima lebih dari tujuh ribu pengungsi yang kembali pada akhir tahun 2023,” demikian bunyi Chairman Statement of 42nd ASEAN Summit yang dirilis Kamis (11/5/2023).
“Kami juga menyambut kunjungan diplomatik baru-baru ini ke Negara Bagian Rakhine dari 8 hingga 9 Maret 2023 untuk mengamati pekerjaan persiapan yang dilakukan oleh Myanmar untuk memulai repatriasi dengan proyek percontohan dan menegaskan kembali kebutuhan untuk memastikan pemulangan sukarela yang aman, terjamin, dan bermartabat dari para pengungsi,” demikian lanjutan pernyataan tersebut.
ASEAN mengatakan mendukung Myanmar untuk menciptakan perdamaian di Negara Bagian Rakhine. “Kami menegaskan kembali dukungan berkelanjutan kami terhadap upaya Myanmar untuk menghadirkan perdamaian dan keharmonisan di antara berbagai komunitas terkait serta untuk mempromosikan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan di Negara Bagian Rakhine,” katanya.
Sebanyak 20 pengungsi Rohingya di Bangladesh telah melakukan kunjungan ke Maungdaw dan desa-desa terdekat di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, Jumat (5/5/2023) pekan lalu. Kunjungan itu merupakan upaya untuk mendorong repatriasi sukarela ratusan ribu pengungsi Rohingya di Bangladesh ke Myanmar.
Terdapat tujuh pejabat Bangladesh yang mendampingi 20 pengungsi Rohingya mengunjungi Maungdaw dan sejumlah desa lainnya di Rakhine. Mereka bersama-sama menyaksikan pelaksanaan mekanisme otoritas Myanmar untuk memukimkan kembali para pengungsi. Namun, sebagian besar dari 20 pengungsi Rohingya yang berpartisipasi dalam kunjungan ke Rakhine masih ragu untuk pulang ke desa mereka.
Mereka menyatakan tidak akan kembali ke Rakhine sebelum ada jaminan keamanan, termasuk pemberian status kewarganegaraan oleh Myanmar. “Kami tidak ingin dikurung di kamp-kamp. Kami ingin mendapatkan kembali tanah kami dan kami akan membangun rumah kami sendiri di sana. Kami hanya akan kembali dengan kewarganegaraan dan semua hak kami,” kata Oli Hossain, salah satu pengungsi ikut dalam kunjungan ke Rakhine saat diwawancara Reuters, Sabtu (6/5/2023).
Myanmar telah menawarkan kartu verifikasi nasional Rohingya (NVC). Namun, para pengungsi menganggap kartu itu tak memadai. “Myanmar adalah tempat kelahiran kami dan kami adalah warga negara Myanmar dan akan kembali dengan kewarganegaraan,” ujar Abu Sufian, pengungsi Rohingya yang juga berpartisipasi dalam kunjungan ke Rakhine pada Jumat pekan lalu.
Dia menekankan, warga Rohingya tidak akan pernah menerima NVC. “(Kartu) ini secara efektif akan mengidentifikasi Rohingya sebagai ‘orang asing’,” ujarnya seraya menambahkan bahwa junta Myanmar telah mengubah nama desanya di Rakhine.
Pejabat Bangladesh telah beberapa kali melakukan kunjungan ke Myanmar sebagai bagian dari upaya repatriasi pengungsi Rohingya. Namun, kunjungan ke Rakhine pada Jumat lalu merupakan yang pertama kali melibatkan langsung perwakilan pengungsi.
Militer Myanmar telah menunjukkan sedikit iktikad untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke Bangladesh ke Rakhine. Delegasi Myanmar sempat mengunjungi kamp-kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh pada Maret. Mereka memverifikasi beberapa ratus pengungsi yang akan dilibatkan dalam proyek percontohan repatriasi.
Seorang pejabat Bangladesh mengungkapkan, proyek percontohan itu bakal melibatkan sekitar 1.100 pengungsi Rohingya. Namun, belum ditetapkan kapan proyek tersebut akan mulai dilaksanakan. Upaya repatriasi pada 2018 dan 2019 gagal karena para pengungsi masih takut menjadi sasaran kekerasan lagi jika kembali ke kampungnya.
Pada Agustus 2017, lebih dari 700 ribu Rohingya melarikan diri dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar, dan mengungsi ke Bangladesh. Hal itu terjadi setelah militer Myanmar melakukan operasi brutal untuk menangkap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Warga sipil ikut menjadi korban dalam operasi tersebut. Selain membakar permukiman, militer Myanmar dilaporkan turut memperkosa perempuan-perempuan Rohingya dan membantai para lelaki dari etnis tersebut.
Masifnya arus pengungsi ke wilayah perbatasan Bangladesh segera memicu krisis kemanusiaan. Para pengungsi Rohingya terpaksa harus tinggal di tenda atau kamp dan menggantungkan hidup pada bantuan internasional.