Tiga Alasan Kenapa Klaim JRP Bangun Pagar Laut Dinilai tak Logis, dari Mana Duit Nelayan?
Hitungan-hitungan Mulyanto butuh Rp 15 miliar untuk bangun pagar laut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengakuan dari nelayan yang tergabung dalam Jaringan Rakyat Nusantara (JRP) terkait pembangunan pagar laut kontradiktif. Pembangunan pagar laut yang disebut mereka dibangun secara swadaya untuk mencegah abrasi justru merusak ekosistem dan merugikan nelayan.
"Ya sangat kontradiktif. Pernyataan nelayan pada umumnya, pagar laut ini merugikan," ujar politikus PKS asal Banten Mulyanto kepada Republika, Ahad (12/1/2025).
Ada tiga hal yang membuat logika JRP tersebut kurang logis. Pertama, nelayan justru harus memutar jauh saat melaut. Sehingga alih-alih untung, mereka justru rugi dengan adanya pagar laut tersebut. "Secara resmi mereka sampaikan kepada Ombudsman RI. Bahkan Ombudsman sudah menghitung kerugian nelayan per tahun," ujarnya.
Kedua, kata ia, berdasarkan hitungan kasar bahan dan jasa membuat pagar laut sekitar Rp 500 ribu per meter. Kalau dikalikan dengan 30 km (30.000 m), maka total paling sedikit Rp 15 M.
"Mengeluarkan uang sebanyak ini untuk keperluan publik (tugas negara) juga sangat kontradiktif dengan kondisi ekonomi nelayan yang memprihatinkan sekarang ini," ujarnya.
Ketiga, pagar laut dianggap pemecah ombak juga tidak memecah ombak justru juga tidak masuk akal lagi. Karena faktnya telah merusak ekosistem. "Apalagi kalau dikatakan pagar laut dari bambu itu untuk pemecah ombak, maka makin kontradiktif alias tidak rasional lagi," katanya menambahkan.
Sebelumnya Koordinator JRP, Sandi Martapraja di Tangerang, Sabtu mengatakan jika pagar laut yang kini ramai diperbincangkan di publik adalah tanggul yang dibangun oleh masyarakat setempat secara swadaya. "Pagar laut yang membentang di pesisir utara Kabupaten Tangerang ini sengaja dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Ini dilakukan untuk mencegah abrasi," katanya.
Menurutnya, tanggul laut dengan struktur fisik yang memiliki fungsi cukup penting dalam menahan terjadinya potensi bencana seperti abrasi. Pertama, mengurangi dampak gelombang besar, melindungi wilayah pesisir dari ombak tinggi yang dapat mengikis pantai dan merusak infrastruktur.
"Kedua, mencegah abrasi, mencegah pengikisan tanah di wilayah pantai yang dapat merugikan ekosistem dan permukiman. Kemudian mitigasi ancaman tsunami, meski tidak bisa sepenuhnya menahan tsunami," ucapnya.
Ia mengungkapkan, bila kondisi tanggul laut yang baik, maka area sekitar pagar bambu dan di sekitarnya dapat dimanfaatkan sebagai tambak ikan. Dan ini memberikan peluang ekonomi baru dan kesejahteraan bagi masyarakat setempat.
"Tambak ikan di dekat tanggul juga dapat dikelola secara berkelanjutan untuk menjaga ekosistem tetap seimbang. Tanggul-tanggul ini dibangun oleh inisiatif masyarakat setempat yang peduli terhadap ancaman kerusakan lingkungan," ungkapnya
Republika sebelumnya sempat mengunjungi salah satu lokasi pagar-pagar laut itu yang terletak di perairan Kronjo, Kabupaten Tangerang. Bambu-bambu mulai ditancapkan di laut sekitar 500 meter hingga satu kilometer dari muara kali.
Di laut, bentuk “pagar bambu” itu beragam. Ada yang ditancapkan satu satu. Ada juga yang dibuat semacam koridor dengan jaring di sampingnya dan anyaman bambu yang bisa dilangkahi.
Bentuknya tak sepenuhnya memanjang menyusuri kontur tepian pantai. Ia juga tak sepenuhnya mengular sepanjang 30 kilometer. Pagar-pagar itu merupakan segmen-segmen terpisah yang merentang dari ujung ke ujung perairan utara Kabupaten Tangerang.
Nurdin, salah satu ketua kelompok usaha bersama nelayan di Kronjo, mengatakan mereka sudah memertanyakan tujuan pagar itu sedari mulai berdiri sekitar tiga bulan lalu. Saat itu tak ada penjelasan serta permisi kepada para nelayan terkait pembangunan pagar.
Setelah didesak, sejumlah pihak akhirnya membeberkan maksud pembangunan pagar tersebut. “Iya, kata orang dinas itu buat patok. Jadi bentuknya macam peta nanti kalau difoto pakai drone,” ujar Nurdin di Kronjo, Jumat (10/1/2025).
Ia juga mengetahui bahwa “pagar-pagar” itu tak dimaksudkan berdiri secara permanen. Selepas pemetaan, pagar-pagar itu akan dibiarkan hancur. “Itu sudah ada yang rusak dibiarin saja. Katanya memang buat difoto saja, nanti habis itu nelayan terserah lagi mau pakai lautnya,” ujar dia.