Pemilu Thailand Jadi Peluang Besar Oposisi Rebut Kekuasaan

Pemilu Thailand kali ini diperkirakan akan menguntungkan oposisi

EPA-EFE/RUNGROJ YONGRIT
Dua calon Perdana Menteri dari Partai Pheu Thai, Paetongtarn Shinawatra (kanan) dan Srettha Thavisin (kiri) menyambut para pendukungnya selama kampanye pemilihan umum menjelang pemungutan suara di Bangkok, Thailand, Jumat (12/5/2023). Lebih dari 52 juta pemilih yang memenuhi syarat akan memberikan suara mereka surat suara dalam pemilihan umum 14 Mei.
Rep: Dwina Agustin Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Pemungutan suara sedang berlangsung di Thailand pada Ahad (14/5/2023). Pemilihan umum kali ini diperkirakan akan memberikan keuntungan besar bagi kekuatan oposisi.

Sekitar 52 juta pemilih akan memberikan suara dengan kemungkinan besar mengalir kepada partai-partai oposisi. Jajak pendapat menunjukkan partai oposisi Pheu Thai dan Move Forward akan mendapatkan kursi terbanyak.

Tapi, meski partai oposisi kemungkinan mengumpulkan suara terbanyak, tidak ada jaminan keduanya akan memerintah Thailand.  Aturan parlemen telah dibuat oleh militer setelah kudeta tahun 2014 dan cenderung mendukungnya.

Beberapa analis berpendapat perebutan kekuasaan di Thailand lebih dari sekadar pertandingan dendam antara klan Shinawatra melalui partai Pheu Thai dengan United Thai Nation milik Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha. Tanda-tanda pergeseran generasi dan mendambakan pemerintahan yang lebih progresif memunculkan dukungan pada Move Forward.

"Pemilu adalah ujian bagi akar konservatif dan masa depan kemajuan," kata  mitra penasihat urusan pemerintah Maverick Consulting Group Ben Kiatkwankul.

Partai baru itu dipimpin oleh alumni Harvard berusia 42 tahun Pita Limjaroenrat. Partai ini mengalami lonjakan dukungan pada momen-momen terakhir.

Partai tersebut mengandalkan suara dukungan dari kaum muda, termasuk 3,3 juta pemilih pemula yang memenuhi syarat. Agenda yang diusung oleh partai ini adalah rencana membongkar monopoli, melemahkan peran politik militer, dan mengubah undang-undang yang ketat terhadap penghinaan terhadap monarki.

"Masalahnya lebih besar daripada apakah orang suka atau tidak suka Thaksin atau Prayuth. Sekarang sistem lama menghadapi gelombang liberalis," ujar Ben.

Baca Juga


sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler