KPU Tunduk kepada DPR, Batal Revisi PKPU yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan 

UU Pemilu mewajibkan KPU untuk berkonsultasi dengan DPR sebelum melakukan perubahan.

Republika/Putra M. Akbar
Ketua KPU Hasyim Asyari. KPU batal merevisi aturan yang berpotensi mengurangi jumlah keterwakilan caleg perempuan karena tidak disetujui DPR. (ilustrasi)
Rep: Febryan A Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI batal merevisi ketentuan cara penghitungan kuota minimal 30 persen bakal calon anggota legislatif (caleg) perempuan, yang dapat mengurangi jumla caleg perempuan. Sebab, Komisi II DPR RI menolak rencana KPU merevisi ketentuan yang termaktub dalam Peraturan KPU (PKPU) 10/2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD itu. 

Baca Juga


Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengatakan, pihaknya memang sudah berencana merevisi PKPU tersebut sebagaimana tuntutan publik. Namun, UU Pemilu mewajibkan KPU untuk berkonsultasi dengan DPR sebelum melakukan perubahan. 

Nyatanya, Komisi II DPR menolak. Ketika diminta penegasan apakah akan tetap melakukan revisi atau tidak, Hasyim memberikan jawaban ambigu. "Belum," jawabnya singkat. 

Padahal, partai politik sudah telanjur menyerahkan daftar bakal calegnya dan KPU sedang memverifikasi dokumen persyaratan bakal caleg itu. Jika revisi tak dilakukan segera, tentu partai politik tidak punya waktu untuk merombak daftar bakal caleg-nya. Untuk diketahui, partai politik diperbolehkan mengganti daftar bakal caleg-nya saat masa perbaikan pada 26 Juni-9 Juli 2023. 

Dalam kesempatan itu, Hasyim justru menyebut bahwa semua partai politik telah menyerahkan daftar bakal caleg DPR RI dengan komposisi perempuan lebih dari 30 persen. Namun, Hasyim tak menjelaskan apakah keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen itu adalah akumulasi secara nasional, atau per dapil sebagaimana diamanatkan UU Pemilu. Dia juga tak mengungkapkan persentase keterwakilan perempuan dalam daftar bakal caleg DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

 

 

Kompak menolak 

Semua fraksi di Komisi II DPR RI kompak menolak rencana KPU RI merevisi ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen bakal caleg perempuan itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dengan KPU RI, Bawaslu RI, DKPP, dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (17/5/2023). Dalam rapat yang berlangsung sekitar satu jam itu, semua yang berbicara adalah anggota dewan laki-laki. 

"Komisi II DPR RI meminta KPU RI untuk tetap konsisten melaksanakan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota," kata Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia membacakan kesimpulan rapat.  

Ketentuan penghitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan itu memang terdapat dalam PKPU 10/2023, tepatnya Pasal 8 ayat 2. Pasal itu menyatakan bahwa apabila hasil penghitung kuota 30 persen menghasilkan dua angka di belakang koma tak mencapai 50, maka dilakukan pembulatan ke bawah. 

Problemnya, pendekatan pembulatan ke bawah itu ternyata dapat membuat jumlah bakal caleg perempuan tidak sampai 30 persen per partai di setiap daerah pemilihan (dapil) sebagaimana diamanatkan UU Pemilu. 

Sebagai contoh, di sebuah dapil terdapat empat kursi anggota dewan dan partai politik hendak mengajukan empat bakal caleg. Dengan penghitungan murni 30 persen, berarti partai politik harus mengajukan 1,2 orang bakal caleg perempuan. 

Lantaran ada ketentuan pembulatan ke bawah, partai akhirnya hanya wajib mendaftarkan satu caleg perempuan. Padahal, satu caleg perempuan dari empat caleg persentasenya adalah 25 persen, bukan 30 persen.  

Berdasarkan simulasi yang dibuat Koalisi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, pendekatan pembulatan ke bawah itu dapat mengurangi jumlah bakal caleg DPR RI perempuan hingga 684 orang. Sedangkan pada level DPRD provinsi dan kabupaten/kota dapat mengurangi jumlah bakal caleg wanita hingga ribuan orang di seluruh Indonesia. 

Karena itu, koalisi perempuan mendesak agar Pasal 8 ayat 2 itu direvisi. KPU pada pekan lalu menyatakan bersedia melakukan revisi, yakni mengganti isinya menjadi pendekatan pembulatan ke atas sebagaimana digunakan dalam Pemilu 2019. Namun, KPU akhirnya batal melakukan revisi karena memilih tunduk pada kehendak anggota dewan. 

Padahal, KPU RI sebagai lembaga mandiri sebenarnya tak harus mematuhi keinginan DPR itu. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.92/PUU-XIV/2016 telah menyatakan bahwa hasil konsultasi KPU dengan DPR dan Pemerintah tidak bersifat mengikat. Karena itu, Perludem mewanti-wanti agar KPU melakukan revisi sesuai rencana awal, jangan berubah akibat tekanan anggota dewan. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler