Kisah Mualaf yang Bersyahadat karena Lihat Teman di Kampus Rajin Ibadah
Pihak keluarga tak menentang keputusannya menjadi mualaf.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Silvia Lestari merupakan seorang wanita keturunan Betawi-Cina yang terlahir dalam keluarga non-Muslim. Saat Silvia masih kecil, ibunya telah dipanggil sang pencipta. Karena itu, dia pun diasuh oleh salah satu tantenya yang sudah menikah dengan pria Muslim dan menjadi mualaf.
Selama duduk di bangku sekolah dasar, Silvia yang masih dalam pengasuhan tantenya kemudin dimasukkan ke Sekolah Dasar Negeri Cipayung 03 Pagi. Di sekolah umum itu hanya ada dua pilihan mata pelajaran agama, yakni Islam atau Kristen. Ia pun tidak bisa mempelajari agama yang dianut keluarganya.
“Karena tante saya seorang muslim saya pun diminta untuk mengikuti mata pelajaran agama Islam,” kata Silvia seperti diceritakan dalam buku Mualaf: Kisah Para Penjemput Hidayah terbitan Tinta Media karya Steven Indra Wibowo.
Selama enam tahun, mau tidak mau Silvia harus mengikuti pelajaran agama Islam. Namun saat itu Silvia menganggapnya sekadar mata pelajaran biasa. Setelah lulus sekolah dasar dan melanjutkan ke bangku SMP dan SMA, dia pun tetap menjadi pengikut agama yang sama dengan mendiang ibunya.
Namun, begitu masuk perguruan tinggi segala sesuatunya berbeda. Di kampus ia mulai sering berinteraksi dengan banyak teman Muslim. Sebab, mayoritas mahasiswa memang beragama Islam. Dari sanalah hampir setiap hari ia mendengar kisah-kisah nabi zaman dahulu, kisah yang menurut dia menginspirasi dan luar biasa.
Saat berinteraksi, Silvia pun terkesan dan menyaksikan langsung ketekunan teman-teman Muslimnya. “Sahabat-sahabat saya di kampus beragama Islam dan sangat taat terhadap ajaran agama yang mereka anut itu yang membuat saya kagum dengan keislaman mereka,” kata Silvia.
Sejak saat itu, Silvia mulai berdiskusi dan berbagi cerita dengan teman-teman Muslimnya. Hingga akhirnya timbullah rasa penasaran dalam benaknya terhadap Islam. “Kerabat saya jarang pergi beribadah ke tempat ibadah (non-Muslimnya), hanya sesekali berdoa di rumah," ujarnya.
“Berbeda dengan teman-teman Muslim saya. Ketika mendengar kumandang azan mereka bergegas untuk beribadah,” katanya.
Silvia lalu banyak bertanya tentang ajaran-ajaran Islam kepada teman-temannya. Padahal, sebelumnya ia mengaku tidak pernah terlintas sedikit pun berkeinginan untuk mempelari Islam lebih dalam. Namun, hati Silvia kini mulai terbuka. Ia menemukan kebesaran Allah dan kebenaran ajaran agama Islam.
Akhirnya pada penghujung 2011, Silvia memutuskan memeluk Islam dan menjadi mualaf. Bagi Silvia, itu adalah hidayah terbesar dalam hidupnya. Hanya disaksikan kedua sahabatnya, ia mengikrarkan dua kalimat syahadat di salah satu masjid kawasan Cijantung, Jakarta Timur.
Beruntung orang tua Silvia sangat demokratis. Ia diberi kebebasan penuh untuk memilih jalan hidupnya dan dianggap sudah dewasa untuk mempertanggungjawabkan semua perbuatannya. Silvia pun merasa lega tidak menemui halangan berarti untuk terus mempelajari agama barunya.
“Alhamdulillah keluarga saya menghargai keputusan ini. Jadi saya tidak perlu sembunyi-sembunyi menjalankan sholat dan membaca Alquran di rumah,” katanya.