Kejanggalan Putusan Perpanjangan Masa Jabatan KPK Versi Anggota Dewan

Arsul menilai Komisi III tidak bisa memanggil MK.

Republika/Nawir Arsyad Akbar
Anggota Komisi III DPR Arsul Sani menanggapi Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK, di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/5/2023).
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR Arsul Sani mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, Komisi III tak bisa memanggil MK untuk dimintai penjelasan terkait hal tersebut.

Baca Juga


"Tidak bisa (dipanggil), karena MK itu lembaga negara yang ada di rumpun kekuasaan lain, bukan di rumpun kekuasaan eksekutif, tapi di rumpun kekuasaan yudikatif. Nah rumpun kekuasaan yudikatif seperti MK dan MA itu punya kemandirinan, punya independensi," ujar Arsul di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/5/2023).

Komisi III, jelasnya, menghormati kemandirian dan independensi MK sebagai lembaga yudikatif. Namun, independensi tersebut tak membuat lembaga tersebut kebal dari kritik berbagai elemen masyarakat. "Tentu dalam negara demokrasi, dalam hubungan ketatanegaraan, tetap kita ini adalah lembaga negara yang lain, masyarakat sipil itu juga boleh mengkritisi MK," ujar Arsul.

Ia menjelaskan, Komisi III bisa menyampaikan pandangannya terkait putusan tersebut lewat rapat konsultasi, tetapi ia belum dapat mengkonfirmasi waktunya. Namun, forum tersebut bukan seperti rapat kerja atau rapat dengar pendapat yang menghasilkan kesepakatan dan kesimpulan.

"Nanti dalam rapat konsultasi, tentu ya DPR akan menyampaikan pendapat DPR ya terhadap putusan MK yang inkonsisten itu, gitu loh. Tetapi itu bentuknya dalam rapat konsultasi, itu boleh tentu kami menyampaikan sikap atau pendapat," ujar Arsul.

Ia sendiri menghormati MK yang memutuskan menerima gugatan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron soal perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Namun, ia mempertanyakan kewenangan MK dalam memutuskan hal tersebut.

Putusan yang ganjil

Putusan yang memperpanjang masa jabat pimpinan KPK dinilainya melampaui kewenangan MK. Apalagi objek putusan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka. Hal ini merupakan kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam undang-undang yang merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.

"Itu kan agak dalam tanda kutip penghinaan terhadap DPR dan presiden, presiden. Kan pembentuk undang-undang itu DPR dan presiden," ujar Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.

Ia juga menilai adanya inkonsistensi dari MK usai memutuskan untuk menjadikan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun. Sebab sebelumnya, juga ada gugatan terhadap Pasal 87 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang MK. Di pasal tersebut mengatur, seorang hakim MK bisa menjabat sampai dengan 15 tahun sepanjang usianya tidak melebihi 70 tahun.

 

Namun, MK menolak semua gugatan terhadap pasal tersebut. Di mana dalam pertimbangannya, MK tak menyinggung soal ketidakadilan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya.

"Nah tiba-tiba di sini di dalam pertimbangan putusan itu, bicara soal keadilan, soal keadilan terkait masa jabatan. Empat tahun itu dianggap, satu, bertentangan dengan prinsip keadilan, dibandingkan dengan lembaga negara lain yang constitutional important," ujar Arsul.

 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler