Putusan MK Bocor, Mahfud MD: Info Denny Indrayana Preseden Buruk, Polisi Harus Turun
Mahfud minta polisi turun cari siapa yang bocorkan putusan MK terkait sistem pemilu.
REPUBLIKA.CO.ID---Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menyayangkan pernyataan Denny Indrayana seputar informasi kebocoran putusan MK soal sistem pemilu. Informasi dari Denny Indrayana, tegas Mahfud, menjadi presiden buruk.
"Terlepas dari apa pun, putusan MK tak boleh dibocorkan sebelum dibacakan. Info dari Denny ini jadi preseden buruk, bisa dikategorikan pembocoran rahasia negara," kicau Mahfud MD lewat laman Twitter-nya, Ahad (27/7/2023) malam.
Polisi, kata Mahfud, harus menyelidiki info 'A1' (terkonfirmasi) yang katanya menjadi sumber Denny. Ini penting agar tidak jadi spekulasi yang mengandung fitnah.
"Putusan MK itu menjadi rahasia ketat sebelum dibacakan, tapi harus terbuka luas setelah diputuskan dengan pengetokan palu vonis di sidang resmi dan terbuka. Saya yang mantan Ketua MK saja tak berani meminta isyarat apalagi bertanya tentang vonis MK yg belum dibacakan sbg vonis resmi. MK hrs selidiki sumber informasinya," kata Mahfud menambahkan.
Pakar hukum tata negara, Denny Indrayana sebelumnya mengatakan, berdasarkan informasi yang dia terima, Pemilu 2024 akan diputuskan Mahkamah Konstitusi secara tertutup. Artinya, MK secara kelembagaan akan menerima gugatan proporsional terbuka dan mengembalikan ke sistem proporsional tertutup layaknya era Orde Baru.
“Info. Putusan MK kembali ke proporsional tertutup. Putusan 6:3, tiga dissenting opinion,” kata Denny dalam keterangannya kepada Republika.co.id, Ahad (28/5/2023).
Dalam penjelasannya, keputusan yang diambil MK tidak sepenuhnya disetujui sembilan hakim. Sembilan hakim dari tiga lembaga berbeda yang dipilih DPR, presiden dan MA itu hanya menghasilkan persetujuan enam berbanding tiga dissenting.
“Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan hakim konstitusi,” kata dia.
Dia menjelaskan, jika MK secara kelembagaan resmi menerima gugatan yang ada, sistem pemilu serentak mendatang bisa menerapkan proporsional tertutup kembali seperti dilakukan era Orba pada 1955 hingga 1999.
“Maka, kita kembali ke sistem pemilu Orba, otoritarian dan koruptif,” ujar dia.
Gugatan uji materi atas sistem proporsional terbuka ini diajukan oleh enam warga negara perseorangan, yang salah satunya merupakan kader PDIP. Para penggugat meminta agar MK menyatakan sistem proporsional terbuka yang termaktub dalam UU Pemilu adalah inkonstitusional dan memutuskan penerapan sistem proporsional tertutup.
Diketahui, ada enam orang yang mengajukan gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait dengan sistem proporsional terbuka ke tertutup di Mahkamah Konstitusi (MK) dengan nomor registrasi perkara 114/PUU-XX/2022.
Keenam orang tersebut, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).
Pengamat Hukum Pesimistis Atas Info Denny....
Dosen hukum pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, mengaku pesimistis perubahan sistem pemilu itu bisa dilakukan. Pasalnya, tahapan dari Pemilu 2024 saat ini sedang berjalan.
"Kondisi objektif saat ini jelas tidak memungkinkan untuk mengubah sistem pemilu, khususnya berkaitan dengan metode pemberian suara. Sebab, tahapan Pemilu 2024 sudah berjalan dan sudah memasuki fase-fase krusial," kata Titi.
Pasacpemilu 1999, pembentuk undang-undang memutuskan untuk mengubah sistem pemilu proporsional daftar tertutup (closed list) untuk memilih anggota DPR dan DPRD sehingga pemilih bisa langsung mencoblos caleg pilihannya di surat suara.
Surat suara bukan hanya akan memuat nomor urut dan tanda gambar partai, tapi juga memuat nomor urut dan nama caleg yang diusung partai. Namun, pada Pemilu 2004 melalui UU No. 12 Tahun 2003, hal itu masih dilakukan melalui penerapan sistem proporsional terbuka yang relatif tertutup (relatively closed open list system).
Di sini, caleg akan menduduki kursi yang diperoleh partai apabila mendapat suara sejumlah kuota harga satu kursi yang disebut bilangan pembagi pemilih (BPP).