Luhut: Ekspor Pasir Laut tak Merusak Lingkungan

Menurut Luhut, kebijakan ekspor pasir laut akan dipantau oleh bantuan teknologi.

Republika/Iit Septyaningsih
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjawab pertanyaan wartawan di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (30/5/20223).
Rep: Iit Septyaningsih Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan, kebijakan Presiden Joko Widodo soal pengerukan dan ekspor pasir laut tidak akan merusak lingkungan. Menurut dia, kebijakan itu dipantau oleh bantuan teknologi.

Baca Juga


"Tidak dong (merusak lingkungan). Semua sekarang karena ada GPS (global positioning system) segala macam, kita pastikan tidak," ujar Luhut kepada wartawan di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (30/5/2023). 

Menurut dia, ekspor pasir laut bermanfaat bagi Indonesia. Hal itu dapat memberikan hal positif untuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), pemerintah, dan sebagainya. Ia melanjutkan, pemerintah kini sedang melakukan pendalaman alur agar laut di Tanah Air tidak semakin dangkal.

"Itu untuk kesehatan laut juga. Sekarang proyek yang satu besar ini Rempang (Batam). Rempang itu yang mau direklamasi supaya bisa digunakan untuk industri besar solar panel," ujar dia.

Izin ekspor pasir laut dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut. PP tersebut resmi diundangkan pada 15 Mei 2023 lalu.

Sebelumnya, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, pasir laut dilarang diekspor. Ekspor pasir laut dihentikan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil. Penghentian ekspor itu akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan kebijakan kontroversial dengan membolehkan ekspor pasir laut. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, Jokowi mengizinkan penjualan pasir laut Indonesia keluar negeri.

Dalam Pasal 9 PP Nomor 26 Tahun 2023, ayat (1) berbunyi, "Hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa, pasir laut dan/atau material sedimen lain berupa lumpur". Adapun ayat (2) berisi tentang pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan untuk: reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha dan/atau, ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam beleid yang diteken Jokowi di Jakarta pada 15 Mei 2023, pelaku usaha yang ingin melakukan ekspor harus mempunyai izin pemanfaatan pasir laut. Sehingga, penjualan pasir laut baru bisa dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari menteri yang menerbitkan urusan bidang mineral dan batu bara.

Adapun aturan itu menganulir larangan ekspor pasir laut yang berlaku selama dua dekade terakhir berkat keluarnya Surat Keputusan (SK) Menperindag Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK itu dijelaskan bahwa alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas.

Eks menteri kelautan dan perikanan Susi Pudjiastuti pun ikut mengomentari pencabutan larangan ekspor pasir laut. Susi khawatir jika aturan itu diberlakukan maka kerusakan lingkungan di Indonesia bisa semakin parah.

"Semoga keputusan ini dibatalkan. Kerugian lingkungan akan jauh lebih besar. Climate change sudah terasakan dan berdampak. Janganlah diperparah dengan penambangan pasir laut," ujarnya melalui akun Twitter, @susipudjiastuti dikutip Republika di Jakarta, Senin (29/5/2023).

Lantas, adakah pihak yang diuntungkan dari dibukanya ekspor pasir laut Indonesia?

Indonesia telah mencabut larangan ekspor pasir laut yang sebelumnya berlaku selama dua dekade. Hal ini dinilai dapat memberikan keuntungan bagi Singapura yang memiliki sejumlah proyek perluasan lahan atau reklamasi. Akan tetapi, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran dari pengamat lingkungan mengenai keselamatan habitat laut.

Dikutip dari Reuters, Indonesia pertama kali mencabut izin ekspor pasir laut yakni pada 2003. Hal itu kemudian ditegaskan kembali pada 2007 sebagai bentuk perlawanan terhadap ekspor pasir laut ilegal.

Sebelum ada larangan, Indonesia adalah pemasok terbesar pasir laut untuk kebutuhan reklamasi di Singapura. Ekspor pasir laut dari Indonesia ke Singapura mencapai rata-rata 53 juta ton per tahun dalam periode 1997 hingga 2002.

Berdasarkan laporan PBB pada 2019, Singapura merupakan importir terbesar pasir laut di dunia. Dalam dua dekade, Singapura telah mengimpor 517 juta ton pasir laut dari tetangga. Kemudian, Malaysia mengikuti jejak Indonesia melarang ekspor pasir laut pada 2019. Saat itu, Malaysia menjadi pemasok utama pasir laut bagi Singapura.

Larangan ekspor pasir laut dari Indonesia telah menjadi bahan negosiasi antara Indonesia dan Singapura. Pada 2007, Singapura menuding Indonesia menggunakan kebijakan itu untuk menekan pemerintahnya dalam negosiasi perjanjian ekstradisi dan penetapan perbatasan. Perjanjian ekstradisi sudah berhasil ditandatangani tahun lalu.

Manajer Kampanye Walhi Parid Ridwanuddin menilai, kebijakan pemerintah yang kembali membuka ekspor pasir laut bertentangan dengan komitmen untuk menyehatkan ekosistem laut. Sementara, peneliti dari Greenpeace Indonesia Afdillah Chudiel menyebutkan, tambang pasir laut dapat memperburuk krisis iklim.

"Itu akan mempercepat tenggelamnya pulau-pulau kecil dan abrasi pantai," ujarnya.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler