Pemerintah-DPR Didesak Lahirkan UU Keadilan Iklim

UU Keadilan Iklim bisa merespons kebutuhan pencegahan perubahan iklim.

Antara/Wahdi Septiawan
Koalisi Masyarakat Sipil Keadilan Iklim mendesak dibentuknya Undang-Undang (UU) Keadilan Iklim. (ilustrasi).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil Keadilan Iklim mendesak dibentuknya Undang-Undang (UU) Keadilan Iklim. Koalisi berupaya memastikan penanganan perubahan iklim berbasis hak dan distribusi beban yang adil lewat peraturan-perundangan. 

Baca Juga


Dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sepanjang 2013-2022, terungkap peningkatan bencana terkait cuaca dan iklim sebanyak 28.471 kejadian, yang mengakibatkan 3,5 juta lebih orang mengungsi dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, dan meninggal dunia. Koalisi meyakini risiko dan ancaman dampak perubahan iklim di Indonesia akan semakin parah melihat kenaikan suhu bumi telah mencapai 1.1derajat Celcius sebagaimana dilaporkan dalam laporan sintesa IPCC 2023. 

"Inilah urgensi perwujudan keadilan iklim. Kami merumuskan sejumlah substansi yang nantinya perlu diatur dalam UU Keadilan Iklim," kata Direktur Eksekutif ICEL, Raynaldo Sembiring sebagai bagian dari Koalisi dalam keterangannya yang dikutip pada Ahad (4/6/2023). 

Koalisi menilai pembentukkan UU Keadilan Iklim bisa merespons kebutuhan pencegahan dan pengendalian dampak perubahan iklim yang komprehensif. Ini menyangkut isu krisis iklim yang menyentuh banyak lini dan aktor. Oleh karena itu, Koalisi mendorong UU Keadilan Iklim menjadi bentuk aturan yang terintegrasi. 

"UU Keadilan Iklim harus menjadi kerangka hukum yang memuat ketentuan pokok sebagai payung bagi pelaksanaan seluruh kebijakan iklim," ujar Raynaldo. 

Koalisi berharap UU Keadilan Iklim bersifat holistik terdiri dari dua bagian besar. Bagian pertama memuat prinsip-prinsip keadilan iklim, peta jalan dan panduan pelaksanaannya. Sedangkan bagian kedua berisi materi-materi pelaksanaan terintegrasi yang setidaknya terdiri dari: mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, loss and damage, tata kelola perubahan iklim termasuk sistem dan kelembagaan, penegakan hukum, pembiayaan iklim, hingga mosi publik.  

"Prinsip-prinsip keadilan iklim harus dipastikan terintegrasi dalam materi muatan," ucap Raynaldo. 

Selain itu, Koalisi mengamati Pemerintah Indonesia belum merespons krisis iklim dengan serius. Di level kebijakan, Peraturan Presiden No. 98 Tahun 2021 soal Nilai Ekonomi Karbon justru mengalami benturan dari undang-undang sektoral. Sehingga instrumen hukum yang tersedia belum menyasar kebutuhan penurunan emisi secara signifikan serta peningkatan daya adaptif masyarakat. 

"Kita membutuhkan regulasi yang fokus terhadap penanganan krisis iklim, serta penciptaan keadilan dalam penanganan krisis," ujar Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono selaku bagian dari Koalisi. 

Sementara itu, Direktur Eksekutif Nasional WALHI Zenzi Suhadi yang turut menjadi bagian Koalisi mengingatkan posisi strategis Indonesia sebagai negara dengan kawasan hutan terbesar sekaligus kekayaan keanekaragaman hayati. Posisi itu seharusnya membuat Indonesia mampu memainkan peran memimpin negosiasi iklim di tingkat global.

"Krisis iklim yang terjadi saat ini disebabkan oleh aktivitas ekonomi ekstraktif, sehingga UU Keadilan Iklim relevan untuk merekonstruksi ulang relasi dan corak ekonomi politik kita sebagai sebuah bangsa, tidak hanya pada level nasional tapi juga ditingkat global," ujar Zenzi. 

Diketahui, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Iklim terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Pikul, Madani Berkelanjutan, Kemitraan, Pusaka, 350.org, YAPPIKA.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler