SMRC: Anies Jadi Fenomena Politik Baru Dibanding Prabowo dan Ganjar
Saiful Mujani pada 2-3 tahun lalu sudah menduga Anies akan masuk bursa persaingan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anies Baswedan menjadi satu dari tiga capres yang memiliki elektabilitas terkuat di bursa Pilpres 2024. Uniknya, Anies menjadi satu-satunya sosok capres yang bukan berasal dari partai politik.
Pendiri SMRC, Saiful Mujani mengatakan, Anies tidak harus menjadi kader partai politik agar bisa menarik parpol dan mencalonkannya. Artinya, Anies memiliki nilai politik besar bagi pendukung dan bagi rakyat.
"Anies ini adalah semacam fenomena politik baru, di mana dia memasuki arena politik paling atas di negeri kita, mau menjadi presiden, padahal bukan elite partai, apalagi pimpinan partai, anggota partaipun tidak," kata Saiful, Jumat (9/6).
Pada 2-3 tahun lalu, ia mengaku sudah menduga kalau Anies akan masuk atau kompetitif dengan calon lain yang tidak asing di politik, seperti Prabowo Subianto dari Partai Gerindra dan Ganjar Pranowo dari PDIP.
Prabowo sudah dua kali mencalonkan diri dalam pilpres lewat Gerindra, Ganjar merupakan kader partai dan pernah aktif di legislatif dari PDIP. Hal itu yang membuat sosok Anies berbeda dibanding Prabowo dan Ganjar.
"Kalau Ganjar dan Prabowo tidak terlalu istimewa, itu langkah politik yang normal, kalau Anies ini menarik, banyak yang memberi harapan pada Anies, apalagi kalau punya kecenderungan ingin melakukan perubahan," ujar Saiful.
Maka itu, ia merasa, masuk akal jika banyak yang memberi harapan kepada Anies. Saiful menerangkan, setidaknya dua tahun terakhir sebelum 2023, Anies pada Desember 2022 sempat betul-betul seimbang dengan Prabowo.
Bahkan, kalau dibaca angka mutlaknya di atas Prabowo, alami kemajuan dari 23 ke 28. Artinya, harapan Anies akan menjadi semakin kompetitif terlihat sebelum memasuki 2023. Tapi, turun memasuki 2023 sampai Mei.
Anies mengalami penurunan cukup signifikan dari 28 menjadi 19,7. Dilihat dari perilaku pemilih, elektabilitas Anies menurun, Prabowo mengalami kenaikan dan elektabilitas Ganjar memiliki kecenderungan memang menguat.
Ada banyak faktor yang bisa dielaborasi sebagai penyebabnya. Secara psikologis, konteks ideologis kecenderungan kepada politik Islam atau politik kebangsaan yang menekankan kepada Pancasila salah satunya.
Tentu, Saiful menekankan, banyak yang membantah dan menyatakan kalau Islam dan Pancasila tidak bisa dipertentangkan dan bisa beriringan. Tapi, bagi pemilih, Islam dan Pancasila bisa dilihat sebagai spektrum.
Artinya, pemilih bisa melihat seberapa kuat tingkat kepancasilaan tokoh dan seberapa kuat tingkat politik Islam tokoh. Jika dilihat tiga tokoh paling kompetitif, banyak pemilih yang melihat posisi ideologi mereka. "Di masyarakat kita, mereka mendefinisikan dirinya, penilaian diri sendiri, posisi saya dalam konteks Islam dan Pancasila di mana, apakah lebih kepada Pancasila atau lebih dekat kepada Islam," kata Saiful.
Ada pula dinamika persepsi kondisi ekonomi nasional, yang tidak bisa dilepaskan dari kinerja Presiden Jokowi. Dari sana, jika kepuasan tinggi tentu pemilih akan menilai tokoh-tokoh mana yang dekat dengan Jokowi.
Dengan mengusung perubahan, ia menambahkan, itu akan dinilai masyarakat positif jika mereka melihat kondisi sekarang buruk. Tapi, kalau kondisi sekarang baik, perubahan dilihat sebagai keinginan merubah yang baik.
"Positioning tokoh itu, dia berada pada posisi berhadapan atau oposisi terhadap posisi presiden atau pemerintah, dia sebagai bagian pemerintah itu menjadi faktor yang bisa menjelaskan Anies naik atau turun," ujar Saiful.