Muhammadiyah: Perpanjangan Masa Jabatan Pimpinan KPK Periode Ini Bertentangan Konstitusi

Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.

Republika/Wihdan Hidayat
Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM (MHH) PP Muhammadiyah Rahmat Muhajir Nugroho menyampaikan paparan terkait perpanjangan masa jabatan ketua KPK di Gedung PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (12/6/2023). MHH PP Muhammadiyah menolak hasil putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan ketua KPK. Dan meminta pemerintah untuk melanjutkan proses seleksi pimpinan KPK 2023-2027.
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah dalam kajiannya menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 112/PUU-XX/2022 tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bukanlah untuk pimpinan KPK saat ini. Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Rahmat Muhajir Nugroho mengatakan jika perpanjangan masa jabatan berlaku untuk pimpinan KPK periode saat ini, maka hal tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Khususnya Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang mengatur bahwa 'Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan'. "Padahal MK mengetahui bahwa pemerintah hendak membentuk panitia seleksi. Dengan putusan MK itu maka seluruh warga negara yang memiliki hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk menjadi pimpinan KPK menjadi terhalangi atau hilang. Oleh karenanya MK sebagai penjaga konstitusi telah mengabaikan perlindungan terhadap nilai-nilai konstitusi tersebut," kata Rahmat dalam konferensi pers di Kantor PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Selasa (13/6/2023).

Baca Juga



Rahmat mengatakan, agar hak warga negara itu tidak hilang maka satu-satunya cara adalah dengan tidak menerapkan masa jabatan pimpinan KPK lima tahun pada pimpinan KPK periode ini. Pimpinan KPK periode Ketua Firli Bahuri akan berakhir masa jabatannya di akhir tahun ini.

Hal tersebut  juga untuk menghindari terjadinya konflik kepentingan antara KPK, MK, dan Pemerintah. Sebab menurut Muhammadiyah, bagaimanapun pimpinan KPK berwenang untuk memeriksa hakim konstitusi yang potensial terlibat kasus korupsi.

"Apakah mungkin MK akan memutuskan penambahan masa jabatan bagi pimpinan KPK jika mereka sedang menyelidiki hakim konstitusi? Jika tidak mungkin, hakim konstitusi harus paham konflik kepentingan yang sedang mereka tangani dalam perkara tersebut. Oleh karena itu satu-satunya cara agar tidak timbul konflik kepentingan maka putusan MK tidak dapat diterapkan pada pimpinan KPK yang menjabat saat ini," ujarnya.

Ia menjelaskan bahwa sifat putusan MK berlaku ke depan dan tidak berlaku surut. Dengan demikian maka putusan MK terkait perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK menjadi lima tahun berlaku untuk pimpinan KPK yang akan datang. "Tidak berlaku untuk pimpinan saat ini," ucapnya.

Rahmat menambahkan, asas hukum yang berlaku universal dalam negara hukum adalah melindungi setiap orang dari penerapan hukum yang berlaku surut (retro-active). Prinsip non-retro active clause itu menjadi nilai dasar yang dipahami seluruh orang hukum.

"Sebagaimana asas pada umumnya, prinsip tidak memberlakukan surut hukum tidak perlu dituliskan dalam konstitusi atau undang-undang, namun karena acapkali pada negara hukum yang lemah penegakan hukum terjadi penyimpangan dan pengabaian asas, maka beberapa asas tetap dicantumkan," ujar Rahmat.

Misalnya, kata dia, asas non retro-active clause itu dicantumkan dalam perihal penuntutan pidana dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Berdasarkan penjelasan Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM perihal penuntutan berlaku surut itu hanya dapat dikecualikan terhadap pelanggaran HAM berat.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler