Jalani Transplantasi Rahim, Apakah Pria Bisa Haid dan Hamil?
Selebritas transgender Lucinta Luna mengaku haid dan pernah hamil.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jagat maya kembali riuh dengan unggahan akun Twitter @tanyakanrl yang memasang foto Lucinta Luna saat tampil di saluran Youtube Denny Sumargo pada 12 Oktober 2022. Ketika itu, selebritas yang terlahir dengan nama Muhammad Fatah itu mengaku telah menjalani transplantasi rahim dan sudah mengalami haid.
Ini bukan kali pertama Lucinta mengaku hamil, terbaru saat mengobrol dengan selebritas Boy William pada Rabu (9/6/2021). Sebetulnya, apakah benar waria bisa haid dan hamil dengan prosedur cangkok rahim?
Faktanya, operasi tersebut belum pernah berhasil dilakukan pada pria. Pada awal 2022, dilaporkan bahwa seorang ahli bedah yang berbasis di New Delhi, India, berencana mencoba melakukan transplantasi rahim pada seorang wanita transgender, tetapi tak jelas kelanjutannya.
Pengumuman tersebut memicu serangkaian reaksi atas implikasi dari prosedur tersebut. Soalnya, transplantasi rahim masih tetap merupakan prosedur yang cukup eksperimental.
Dikutip dari laman Euro News, Kamis (15/6/2023), di seluruh dunia, transplantasi ini telah memungkinkan beberapa wanita yang menderita infertilitas faktor uterus untuk berhasil melahirkan. Kelahiran hidup pertama dari transplantasi rahim terjadi di Swedia pada tahun 2014.
Tak sampai satu dekade kemudian, transplantasi rahim diperkirakan telah dijalani 90 wanita di seluruh dunia. Pada akhir 2021, prosedur itu menghasilkan sekitar 50 anak.
Sejauh ini, kelahiran dari transplantasi rahim berasal dari pasien wanita yang memang wanita sejak lahir. Namun, kemajuan pesat di lapangan telah memicu harapan di antara beberapa waria tentang kemungkinan kehamilan.
Mats Brännström, seorang profesor kebidanan dan ginekologi dan dokter kepala di Universitas Gothenburg di Swedia mengaku sering mendapat email dari orang yang kodratnya sebagai laki-laki saat lahir menanyakan tentang prosedurnya. Dia merupakan dokter yang membantu melahirkan bayi pertama yang lahir sebagai hasil dari transplantasi rahim.
"Kami belum melakukan riset yang cukup untuk itu," kata Brännström.
Di sisi lain, seorang waria tidak menghasilkan sel telur. Untuk bisa haid dan melahirkan, perempuan memiliki uterus dan indung telurnya.
Perempuan akan haid ketika tidak terjadi pembuahan pada sel telurnya. Sejalan dengan itu, lapisan uterus yang dipersiapkan untuk kehamilan akan luruh, menghasilkan pendarahan yang disebut dengan menstruasi.
Andaikan sudah berhasil mendapatkan cangkok rahim, waria masih memerlukan donor sel telur. Memiliki rahim saja sejatinya "hanya" menyediakan tempat tumbuhnya janin dan waria tidak memiliki fungsi reproduksi perempuan yang kompleks tersebut.
Apakah transplantasi rahim bisa dilakukan untuk wanita transgender?
Profesor Bioetika University of Lancaster, Stephen Wilkinson dan Nicola Williams, telah mempelajari implikasi etis dari reproduksi manusia selama beberapa tahun di kampusnya yang terletak di Inggris. Mereka mengatakan transplantasi rahim secara umum pun masih termasuk tahap awal. Penelitian lebih lanjut diperlukan sebelum prosedur menjadi arus utama.
"Bakal ada banyak pertanyaan klinis dan ilmiah ketika ada wanita transgender mengakses transplantasi rahim, dan banyak alasan untuk berhati-hati dalam meluncurkannya ke komunitas lain, terutama ketika itu bahkan belum pernah dilakukan dalam praktik klinis, atau itu semua berada dalam lingkungan penelitian yang cukup terbatas," kata Wilkinson selaku profesor Bioetika di University of Lancaster Politics, Philosophy, and Religion Department.
Transplantasi rahim untuk transgender
Dalam prosedur cangkok rahim, ada juga pertimbangan hormonal dan anatomis. Ini berarti bahwa tidak mungkin untuk langsung menerjemahkan prosedur ini ke dalam populasi transgender.
"Jadi untuk memastikan bahwa prosedur ini aman dan efektif, banyak penelitian perlu dilakukan pada model komputer, hewan, dan kadaver (donor yang sudah meninggal)," kata Brännström.
Brännström menyebut bahwa dunia medis belum cukup sampai di sana dan penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. Itu harus dimulai dengan penelitian mentransplantasikan rahim ke hewan jantan secara biologis.
"Untuk membuat ini berhasil pada wanita saja, kami melakukan banyak penelitian selama 10 sampai 15 tahun pada hewan, pada model hewan betina," katanya.
Di sisi lain, transplantasi rahim tidak ditujukan untuk membuat orang memiliki rahim untuk selamanya. Dalam uji klinis, seorang wanita yang telah mendapatkan cangkok rahim akan menjalani prosedur bayi tabung dan melahirkan melalui operasi caesar.
Ujungnya, ia harus menjalani histerektomi untuk mengangkat rahim. Mengapa itu harus dilakukan? Alasan utamanya adalah demi keselamatan penerima cangkok rahim.
Sebab, orang yang menjalani cangkok rahim harus mendapatkan obat imunosupresan agar tubuh tidak bereaksi menolak organ tersebut. Jika diberikan lebih lama dari yang seharusnya, obat tersebut dapat meningkatkan risiko terkena kanker.
Dalam kacamata medis, transplantasi rahim posisinya berbeda dengan cangkok hati atau jantung yang memang ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak secara permanen. Operasinya bertujuan untuk menyelamatkan nyawa, dan tidak demikian dengan transplantasi rahim.
"Transplantasi rahim tidak dilakukan pada wanita yang lahir tanpa rahim untuk mengonsolidasikan identitas kewanitaan mereka dan memungkinkan mereka untuk menstruasi. Ada tujuan reproduksi yang jelas di sini," kata Laura O'Donovan, rekan peneliti yang bekerja dengan Williams dan Wilkinson di Lancaster University.
Kelak, jika teknologi kedokteran telah memungkinkan pun masih ada masalah lainnya yang tak kalah pelik. Penentuan prioritas donor rahim, misalnya, akan menimbulkan perkara.
Dokter akan kesulitan menentukan siapa yang paling berhak mendapatkan organ rahim. Apakah wanita dengan gangguan reproduksi yang harus didahulukan atau wanita transgender yang "atas nama kesetaraan" memerlukannya demi pengakuan kewanitaannya?