Junta Utus Menlu Hadiri Pertemuan Informal di Thailand Bahas Krisis Myanmar

Menlu Myanmar akan hadir dalam pertemuan informal bahas krisis di negara tersebut

ANTARA FOTO/Zabur Karuru
Menteri Luar Negeri (Menlu) Myanmar Than Swe akan berpartisipasi dalam pertemuan informal untuk membahas krisis di negara tersebut
Rep: Kamran Dikarma Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK – Menteri Luar Negeri (Menlu) Myanmar Than Swe akan berpartisipasi dalam pertemuan informal untuk membahas krisis yang berlangsung di negara tersebut. Pertemuan diagendakan digelar di Bangkok, Thailand, Ahad (18/5/2023), dan turut dihadiri beberapa menlu ASEAN.

Tim informasi junta Myanmar sudah mengonfirmasi keikutsertaan Than Swe dalam pertemuan di Thailand. “(Than Swe) diundang ke pertemuan di Thailand dan dia akan datang,” katanya dalam sebuah keterangan yang dirilis Sabtu (17/6/2023) malam.

Belum diketahui siapa saja menlu ASEAN yang bakal menghadiri pertemuan di Thailand. Namun Pemerintah Kamboja sudah mengumumkan bahwa menlunya akan berpartisipasi.

Pekan lalu Thailand mengusulkan diri menjadi tuan rumah pertemuan informal dengan mengundang menlu Myanmar dan beberapa menlu negara anggota ASEAN lainnya. “Dengan mempertimbangkan beberapa faktor mendesak, waktu untuk dialog lebih cepat daripada nanti,” tulis Menlu Thailand Don Pramudwinai dalam surat undangan yang dilihat AFP.

Sementara itu pada Jumat (16/6/2023) lalu, Menlu Singapura Vivian Balakrishnan menyuarakan keprihatinan tentang inisiatif pertemuan informal yang diusulkan Thailand. “Kami yakin terlalu dini untuk terlibat kembali dengan junta di tingkat puncak atau bahkan di tingkat menteri luar negeri,” kata Balakrishnan.

Sejauh ini ASEAN masih mengucilkan Myanmar dari pertemuan tingkat tinggi. Hal itu karena Myanmar gagal menerapkan Lima Poin Konsensus (Five Point Consensus) yang diterbitkan ASEAN untuk mengatasi krisis sosial-politik di negara tersebut pasca terjadinya kudeta militer.

Krisis di Myanmar pecah setelah militer melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil di sana pada Februari 2021. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.

Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal. Menurut Assistance Association for Political Prisoners (AAPP), sedikitnya 3.240 warga sipil telah tewas di tangan militer Myanmar sejak kudeta terjadi. Penghitungannya tidak termasuk semua korban dari pertempuran.

Menurut PBB, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.
 

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler