AS Hentikan Semua Pendanaan untuk Proyek-Proyek Israel
AS akan menghentikan semua pendanaan untuk proyek-proyek kerja sama dengan Israel.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Amerika Serikat telah menginformasikan kepada Israel, bahwa Washington akan menghentikan semua pendanaan untuk proyek-proyek kerja sama penelitian ilmiah dan teknologi yang berlangsung di Tepi Barat, wilayah yang diduduki, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan Suriah.
Keputusan tersebut membalikkan kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintahan Trump pada 2020, yang memungkinkan dana pembayar pajak AS digunakan untuk proyek-proyek sains dan teknologi di permukiman untuk pertama kalinya sejak 1967.
Gedung Putih mengindikasikan kerja sama semacam itu tidak sesuai dengan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Menurut Jerusalem Post, juru bicara Departemen Luar Negeri AS yang tidak disebutkan namanya mengatakan, kebijakan ini hanya mencerminkan posisi AS yang telah lama ada, yang ditegaskan kembali oleh Pemerintahan AS saat ini.
"Bahwa disposisi akhir dari wilayah geografis yang berada di bawah pemerintahan Israel setelah 5 Juni 1967 adalah masalah status akhir. Kami sedang berupaya mencapai solusi dua negara yang dinegosiasikan di mana Israel hidup dengan damai dan aman di samping negara Palestina yang layak," ujarnya.
Baca Juga: Menlu Palestina Sebut Serangan Pemukim Israel Tindakan Terorisme
Dia menambahkan, sikap ini pada dasarnya mengembalikan kebijakan AS kepada pembatasan geografis sebelum tahun 2020, yang telah berlangsung lama pada dukungan AS untuk kegiatan yayasan-yayasan yang dikerjakan untuk dua negara.
Menteri Luar Negeri Israel Eli Cohen mengecam langkah AS tersebut sebagai sesuatu yang salah. "Saya keberatan dengan keputusan itu dan menganggapnya salah. Dalam kasus serupa di masa lalu, pemerintah Israel sepenuhnya mengganti kerugian pihak-pihak yang dirugikan oleh keputusan tersebut," kata Cohen.
Sementara Senator AS Ted Cruz menuduh pemerintahan Biden melakukan "pelecehan dan diskriminasi terhadap Israel." Sebab di bawah pemerintahan mantan Presiden AS Donald Trump, Washington menjauh dari solusi dua negara dan berpihak pada Israel dengan cara yang lebih jelas.
Trump juga mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel yang tidak terbagi dan memindahkan kedutaan besarnya dari Tel Aviv ke kota yang diduduki tersebut. Ia juga mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, wilayah Suriah yang diduduki dan melunakkan sikapnya terhadap permukiman ilegal Israel di Tepi Barat, wilayah Palestina yang diduduki.
Sikap Trump saat itu juga, telah meninggalkan posisi AS selama empat dekade yang menyatakan bahwa permukiman Israel tersebut "tidak sesuai dengan hukum internasional."
Pemerintah sayap kanan....
Permukiman baru
Pemerintah sayap kanan Israel pada Senin (26/8/2023), menyetujui rencana untuk membangun lebih dari 5.000 rumah baru di permukiman Yahudi di Tepi Barat, kata media Israel. Langkah Israel ini akan semakin memperburuk ketegangan dengan Palestina dan mengabaikan perintah Amerika Serikat yang meminta Zionis menahan diri.
Beberapa media Israel mengatakan bahwa komite perencanaan Kementerian Pertahanan yang mengawasi pembangunan pemukiman menyetujui sekitar 5.700 rumah pemukiman baru. Unit-unit tersebut berada dalam berbagai tahap perencanaan, dan belum jelas kapan pembangunan akan dimulai.
COGAT, badan pertahanan yang bertanggung jawab atas komite perencanaan, tidak menanggapi permintaan komentar. Namun masyarakat internasional, bersama dengan Palestina, menganggap pembangunan pemukiman itu ilegal atau tidak sah dan merupakan hambatan bagi perdamaian.
Lebih dari 700 ribu warga Israel sekarang tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem timur, wilayah yang diduduki sejak direbut Israel pada tahun 1967. Sedangkan wilayah tersebut, merupakan bagian dari Palestina untuk mewujudkan sebuah negara merdeka di masa depan.
Baca Juga: Israel Racuni Tanah Milik Warga Palestina di Tepi Barat
"Pemerintah Netanyahu terus melanjutkan agresi dan perang terbuka terhadap rakyat Palestina," kata Wassel Abu Yousef, seorang pejabat Palestina di Tepi Barat. "Kami menegaskan bahwa semua penjajahan pemukim di seluruh wilayah Palestina yang diduduki adalah tidak sah dan ilegal."
Peace Now, sebuah kelompok pengawas anti-pemukiman, mengatakan bahwa Israel telah menyetujui lebih dari 13 ribu unit rumah pemukiman tahun ini. Jumlah tersebut hampir tiga kali lipat dari jumlah rumah yang disetujui pada tahun 2022, yang menandai persetujuan pembangunan terbanyak dalam setahun terakhir sejak 2012.
Pemerintah Israel, yang mulai menjabat pada akhir Desember 20225 lalu, didominasi oleh para politisi ultrareligius dan ultranasionalis yang memiliki hubungan dekat dengan gerakan pro permukiman. Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, seorang pemimpin pro pemukim bersemangat telah diberi wewenang tingkat Kabinet atas kebijakan pemukiman dan telah bersumpah untuk melipatgandakan populasi pemukim di Tepi Barat.
Sementara itu, Pemerintahan Biden semakin lantang dalam mengkritik kebijakan Netanyahu soal permukiman Israel. Awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Antony Blinken menyebut permukiman sebagai "penghalang harapan di masa depan yang kita impikan" dalam pidatonya di hadapan kelompok lobi pro-Israel, AIPAC.
Pada hari Senin, juru bicara Departemen Luar Negeri AS Matthew Miller mengatakan negaranya "sangat terganggu" oleh keputusan Israel yang terus membangun lebih banyak rumah pemukiman Yahudi. "Amerika Serikat menentang tindakan sepihak seperti itu yang membuat solusi dua negara menjadi lebih sulit untuk dicapai," katanya.
Terlepas dari kritik tersebut, AS hanya mengambil sedikit tindakan terhadap Israel. Sebagai tanda ketidaksenangannya, Gedung Putih belum mengundang Netanyahu untuk berkunjung - seperti yang biasa dilakukan setelah pemilihan umum Israel.
Pekan ini, AS mengatakan bahwa mereka tidak akan mentransfer dana ke lembaga-lembaga Israel untuk proyek-proyek penelitian sains dan teknologi di Tepi Barat. Keputusan ini mengembalikan kebijakan lama yang telah dibatalkan oleh pemerintahan Trump yang pro-pemukiman.
Menjelang pemungutan suara pada Senin (26/6/2023), Menteri Kabinet Israel Issac Wasserlauf, seorang anggota partai sayap kanan Yahudi, mengecilkan perbedaan pendapat dengan AS. "Saya pikir aliansi dengan AS akan tetap ada," katanya kepada stasiun Radio Angkatan Darat. "Ada ketidaksepakatan, kami tahu bagaimana menghadapinya di masa lalu," ujarnya.