Media Sosial, AI, dan Ancaman Demokrasi
Demokrasi, pemilu, dan sosial media, kini memang sudah tak bisa lagi dipisahkan.
Oleh : Setyanavidita Livicakansera, Jurnalis Republika.
REPUBLIKA.CO.ID, Sejak mengambil alih Twitter pada Oktober 2022, Elon Musk terus membuat kontroversi. Yang terbaru, kini ia membatasi untuk akun terverifikasi di platform Twitter, hanya dapat mengakses hingga 10 ribu tweet, akun yang belum diverifikasi hanya dapat melihat 1.000 tweet, dan akun baru yang belum diverifikasi dibatasi hanya 500 tweet setiap hari.
Sementara untuk mendapatkan verifikasi, pemilik akun harus membayar sejumlah uang. Batasan baru ini pun membuat para pengguna Twitter kesal karena merasa kini banyak batasan yang diberlakukan. Selain itu, Twitter juga makin terasa cari uang, setelah sebelumnya platform ini serbagratis.
Tapi, di sisi lain, kebijakan pembatasan Twitter ini, bisa jadi memusingkan untuk para buzzer, yang sedang bersiap menyambut pesta demokrasi pada 2024. Selama ini, Twitter adalah ruang yang amat leluasa untuk para buzzer ini ‘berkarya’ dan mencari cuan.
Tapi, bukan tak mungkin pula, Twitter kini sedang bersiap memindahkan strateginya, yang dari awal akan bermain di Twitter kemudian memutuskan pindah ke platform yang juga tak kalah populer, bahkan mungkin kini lebih populer, TikTok.
Demokrasi, pemilu, dan sosial media, kini memang sudah tak bisa lagi dipisahkan. Sejak adanya media sosial, telah terjadi berbagai perubahan sosial yang signifikan, termasuk dalam aspek demokrasi.
Hadirnya media sosial memberikan platform untuk berbagi dan mendapatkan informasi dengan cepat. Berita dan peristiwa dapat menyebar dengan cepat melalui platform, seperti Twitter, Facebook, dan YouTube. Namun, ini juga bisa menghadirkan tantangan, seperti penyebaran berita palsu dan informasi yang tidak diverifikasi dengan benar.
Dalam urusan partisipasi politik, media sosial telah terbukti menjadi sarana yang cespleng untuk memengaruhi partisipasi politik dengan memberikan platform bagi individu untuk berbagi pandangan politik mereka. Termasuk juga, melibatkan diri dalam diskusi politik, dan mengorganisir gerakan sosial dan politik.
Contohnya, adalah peran media sosial dalam Gerakan Arab Spring pada 2010 dan 2011. Belajar dari pengalaman demokrasi di rumah sendiri, pada pemilu 2014 dan 2019, media sosial juga berperan penting dalam keriuhan pesta demokrasi.
Tak terhitung lagi, banyaknya penyebaran berita palsu, yang dengan bantuan media sosial yang menyebar tanpa verifikasi, kemudian memengaruhi opini publik. Media sosial juga cenderung memperkuat gelembung filter, di mana individu cenderung terpapar dengan opini dan pandangan yang sejalan dengan keyakinan mereka sendiri.
Kondisi yang juga dikenal sebagai echo chamber ini, kemudian menyebabkan terjadinya polarisasi dan kurangnya pemahaman yang seimbang tentang isu-isu politik. Filter bubble juga dapat membuat individu kurang mampu mendengar sudut pandang yang berbeda dan berkontribusi pada diskusi yang sehat.
Kini, dengan berkembangnya kecerdasan artifisial atau AI, hadir pula ancaman baru bagi proses demokrasi. Mencari informasi tentang pemilu di ChatGPT atau Bing.ai, juga belum dapat dipastikan keakuratannya. Ketika informasi yang disampaikan keliru pun, tak ada sanksi yang bisa dikenakan untuk menjerat platform yang bersangkutan.
Sejarah, kini sudah sempat mencatat, sejak hadirnya platform media sosial, beberapa negara telah mengalami gangguan dalam pemilihan umumnya. Salah satunya, pemilihan presiden Amerika Serikat 2016. Kontroversi muncul terkait penyebaran berita palsu, kampanye informasi yang terkoordinasi oleh aktor asing, dan manipulasi algoritma yang memengaruhi visibilitas konten politik.
Kemudian, ada pula referendum Brexit pada 2016 di Inggris yang juga terpengaruh oleh media sosial dan AI. Terdapat laporan tentang kampanye yang intens di media sosial dengan penyebaran informasi yang tidak akurat, serta penggunaan micro targeting, dan personalisasi pesan untuk mempengaruhi pemilih.
Di Myanmar, media sosial dan pesan berantai di platform seperti Facebook telah digunakan untuk memicu kekerasan antara kelompok etnis dan agama yang berbeda. Pada 2017, krisis Rohingya terjadi, di mana kampanye kebencian dan disinformasi melalui media sosial memicu serangan brutal terhadap komunitas Rohingya.
Dengan berbagai disrupsi yang terjadi dalam demokrasi akibat media sosial, pelaksanan Pemilu pada 2024, perlu juga menaruh perhatian khusus pada perkembangan teknologi. Patroli siber yang selama ini dilakukan oleh Kemenkominfo, bisa jadi salah satu strategi mitigasI.
Tapi, itu saja tentu belum cukup. Literasi digital untuk makin bijak mencerna informasi, sanksi hukum yang tegas terhadap fabrikasi dan distributor hoaks, serta koordinasi dengan pemilik platform juga harus makin diperkuat.