Pakar Khawatirkan Serangan Balik Koruptor kepada Kejaksaan Agung
Pelemahan diduga ditempuh dengan mengajukan uji materi pasal kewenangan usut korupsi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Ari Wibowo merespons hasil survei Indikator Politik Indonesia yang menunjukkan tingginya kepercayaan publik terhadap Kejaksaan Agung (Kejagung). Kejagung unggul dari lembaga penegak hukum lain berdasarkan survei ini.
"Raihan kepercayaan publik di angka 81,2 persen bagi kejaksaan merupakan indikasi besarnya apresiasi publik terhadap lembaga tersebut," kata Ari kepada Republika.co.id, Rabu (5/7/2023).
Ari menerangkan, tingginya kepercayaan publik tentu ada kaitannya dengan kinerja Kejagung dalam melakukan penegakan hukum. Dalam dua tahun terakhir, Kejagung membongkar beberapa skandal megakorupsi dengan kerugian keuangan negara yang fantastis.
Misalnya, kasus korupsi PT Garuda Indonesia, Jiwasraya, ASABRI, ekspor crude palm oil (CPO). "Penegakan hukum inipun lebih spesifik terhadap kasus-kasus yang menjadi perhatian publik, tidak lain adalah korupsi," ujar Ari.
Ari mengamati beberapa tahun ke belakang publik sebenarnya lebih percaya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan korupsi. Hal ini dibuktikan dengan indeks kepercayaan publik yang lebih tinggi terhadap KPK dibanding aparat penegak hukum lain.
Apalagi saat itu KPK sukses dalam pengungkapan kasus-kasus korupsi besar hingga muncul istilah 'Jumat Keramat' karena setiap Jumat KPK mengumumkan tersangka baru. "Namun, sejak tahun 2020, indeks kepercayaan publik terhadap KPK semakin turun. Kemungkinan ada korelasi dengan dilakukannya Revisi terhadap UU KPK yang cenderung mengebiri KPK sebagai trigger mechanism dalam pemberantasan korupsi," kata Ari.
Menurutnya, kini angin bergerak ke arah Kejagung. Sebab, publik tak lagi memfavoritkan KPK. Tapi, Ari mengamati naiknya kepercayaan publik terhadap Kejagung bukannya tanpa masalah.
"Justru ada pihak-pihak yang berupaya menghapuskan kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana khusus," ujar Ari.
Menurut Ari, upaya 'melawan' Kejagung ditempuh dengan mengajukan judicial review UU Kejaksaan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adapun pasal yang diujikan salah satunya menyoal kewenangan mengusut perkara korupsi.
"Sulit untuk tidak mengatakan sebagai serangan balik koruptor terhadap kejaksaan atau corruptors fight back," ujar Ari.
Ari menduga perlawanan terhadap Kejagung serupa dengan yang pernah dialami KPK. Sebab muncul upaya revisi terhadap UU KPK di tengah kepercayaan publik yang tinggi terhadap KPK lewat keberhasilannya mengungkap kasus-kasus besar seperti KTP-el dan Century.
"Revisi tersebut bukan untuk memperkuat, namun sebaliknya justru melemahkan KPK. Dari rangkaian peristiwa serupa yang dialami KPK pada masa lalu dengan kejaksaan saat ini, cukup beralasan jika ada dugaan adanya serangan balik koruptor," kata Ari.
Diketahui, dalam survei tersebut, di peringkat teratas adalah Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan tingkat kepercayaan publik sebesar 95,8 persen. Di peringkat kedua ada Presiden dengan tingkat kepercayaan publik sebesar 92,8 persen. Peringkat ketiga adalah Kejagung dengan 81,2 persen.
Keempat adalah Polri dengan kepercayaan publik sebesar 76,4 persen. Selanjutnya adalah KPK (75,4 persen), Majelis Permusyawaratan Rakyat (73,8 persen), dan Dewan Perwakilan Daerah (73,3 persen).
Dua terendah adalah Dewan Perwakilan Rakyat (68,5 persen) dan partai politik (65,3 persen).
Indikator Politik Indonesia melakukan survei pada 20 sampai 24 Juni 2023. Penarikan sampel menggunakan metode multistage random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 1.220 responden.
Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.220 responden memiliki toleransi kesalahan atau margin of error sekira 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen.