Jabatan Ketum Parpol Digugat, PDIP: Yang Gugat Salah Makan Obat

Bambang menyebut MK tidak ada urusan dengan partai politik.

Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto usai rapat pembahasan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK) dengan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (15/2).
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Bambang Wuryanto mengkritik gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Diketahui, penggugat ingin agar masa jabatan ketua umum partai politik maksimal 10 tahun, agar tidak lagi terjadi otoritarianisme dan dinasti politik.

"Itu yang melakukan JR (judicial review) itu orang salah makan obat, gitu loh. Bahwa setiap parpol punya AD/ART, itu dijamin undang-undang," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (5/7/2023).

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dijelaskan ihwal anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang menjadi peraturan dasar bagi partai politik. Hal tersebut termaktub dalam Pasal 1 undang-undang tersebut.

Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat 2, dijelaskan bahwa dalam anggaran dasar partai politik harus memuat 13 hal. Beberapa di antaranya organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan; kepengurusan partai politik; mekanisme rekrutmen keanggotaan partai politik dan jabatan politik; dan sistem kaderisasi.

"MK itu urusan apa? Enggak ada urusannya dengan partai oke? Nah, itu yang men-JR itu mohon izin, suruh baca-baca dulu," ujar Bambang.

"Ini kalau yang namanya MK mengambil putusannya kaya gini, MK-nya juga salah makan obat," kata ketua Komisi III DPR itu menambahkan.

Sebelumnya, warga Nias bernama Eliadi Hulu dan Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Saiful Salim menggugat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik ke MK. Mereka meminta MK membatasi masa jabatan ketum parpol maksimal 10 tahun agar tidak lagi terjadi otoritarianisme dan dinasti politik.

Mereka menguji konstitusionalitas Pasal 23 ayat 1 UU Parpol yang berbunyi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART."

Eliadi dan Saiful meminta MK mengubah bunyi pasal tersebut menjadi: "Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut."

Mereka mendalilkan, tiadanya ketentuan yang membatasi masa jabatan ketum parpol terbukti telah menimbulkan ketum parpol yang menjabat dalam jangka waktu panjang. Contohnya adalah Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang masih menjabat meski sudah menduduki posisi tersebut selama 24 tahun.

Panjangnya masa jabatan ketum parpol mengakibatkan  penumpukan kekuasaan pada satu orang dan pada akhirnya memunculkan otoritarianisme. Mereka kembali menjadikan PDIP sebagai contoh. Dalam hal penentuan calon presiden dan wakil presiden PDIP, semuanya berada di tangan Megawati.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler