DPRD Jabar Soroti Perubahan KK untuk PPDB dan Dugaan Jual Beli Kursi
Komisi 5 DPRD Jabar meminta sistem PPDB dievaluasi.
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Wakil Ketua Komisi 5 DPRD Provinsi Jawa Barat (Jabar) Abdul Hadi Wijaya melihat ada sejumlah masalah dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tingkat SMA sederajat. Ia meminta sistem PPDB yang diterapkan Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek) dievaluasi secara menyeluruh.
Pasalnya, menurut Abdul Hadi, ada permasalahan serupa yang berulang setiap pelaksanaan PPDB. “Klasik sebenarnya. Saya belum melihat ada pergeseran serius dalam penanganannya,” kata Abdul Hadi, Ahad (9/7/2023).
Abdul Hadi menyoroti persoalan sistem zonasi PPDB, yang kuotanya hampir 50 persen di setiap sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan Komisi 5, kata dia, masih ada orang tua yang “mengakali” data kependudukan anaknya agar dekat dengan sekolah yang diharapkan.
“Ternyata banyak yang mengakali pindah KK (Kartu Keluarga). Setelah masuk (sekolah), kembali ke alamat lama. Secara hukum ini tidak ada yang dilanggar, tapi banyak dikeluhkan. Sekolah juga tidak bisa melakukan pengecekan karena tidak ada kewenangan. Ini harus jadi bahan evaluasi,” kata Abdul Hadi.
Abdul Hadi juga menyebut ada dugaan “jual beli kursi” sekolah. Menurut dia, praktik tersebut bisa muncul karena tidak adanya standar baku jumlah kursi atau kuota siswa tiap kelas di masing-masing sekolah.
Menurut Abdul Hadi, rata-rata sekolah menyediakan 32-36 kursi di tiap kelas. Namun, dalam PPDB, ia mencontohkan, kuota yang disediakan kurang dari itu. Sisa kursinya diduga diperjualbelikan. “Ada indikasi dijualbelikan. Makanya harus disebutkan sejak awal. Kalau ruang kelas ada 36 kursi, ya 36 sejak awal,” kata dia.
Abdul Hadi meminta Kemendikbud untuk melakukan pengawasan terhadap jumlah siswa yang masuk dalam PPDB sesuai dengan realisasinya. “Ini masih banyak terjadi, termasuk (siswa) titipan. Saya komunikasi dengan komite sekolah, praktisi pendidikan, kepala sekolah, ternyata masih ada pejabat tertentu (memanfaatkan) fasilitas yang ada,” katanya.
Selain sistem zonasi, Abdul Hadi juga melihat permasalahan PPDB jalur prestasi melalui nilai rapor. Menurut dia, ada perbedaan standardisasi di sekolah tingkat SMP untuk memberikan penilaian.
Karena sekolahnya “tidak royal” dalam memberikan nilai, kata dia, jadi menyulitkan anak yang sejatinya pintar untuk masuk ke sekolah harapannya. Ia pun menyoroti PPDB jalur prestasi olahraga, di mana masih ada perbedaan apresiasi antara jalur KONI dan KORMI.