Kanada Selidiki Perusahaan Emas Diduga Terkait Kerja Paksa Etnis Uighur di Cina
Penyelidikan dilakukan setelah ada pengaduan dari 28 organisasi.
REPUBLIKA.CO.ID, OTTAWA – Lembaga ombudsman Kanada telah membuka penyelidikan terhadap perusahaan emas di negaranya, Nike Canada. Terdapat dugaan bahwa perusahaan tersebut memperoleh manfaat dari penggunaan tenaga kerja paksa etnis Uighur di Cina.
Sheri Meyerhoffer dari the Canadian Ombudsperson for Responsible Enterprise mengatakan, penyelidikan terhadap Nike Canada diluncurkan setelah kantornya menerima pengaduan dari 28 organisasi. Dia memeriksa laporan-laporan tersebut dan menemukan alasan untuk memulai penyelidikan.
"Secara langsung, tuduhan yang dibuat oleh para pelapor menimbulkan masalah serius mengenai kemungkinan penyalahgunaan hak yang diakui secara internasional untuk bebas dari kerja paksa," kata Meyerhoffer, Selasa (11/7/2023), dikutip Anadolu Agency.
“Saya telah memutuskan untuk meluncurkan penyelidikan atas pengaduan ini untuk mendapatkan fakta dan merekomendasikan tindakan yang tepat. Saya belum menilai hasil penyelidikan. Kami akan menunggu hasilnya dan kami akan menerbitkan laporan akhir dengan rekomendasi saya," tambahnya.
Kanada melarang impor barang yang diproduksi seluruhnya atau sebagian dengan kerja paksa atau kerja wajib. Terkait Nike Canada, The Australian Strategic Policy Institute (ASPI) menuduh bahwa perusahaan emas tersebut memiliki rantai pasokan dengan enam perusahaan Cina yang produknya menggunakan tenaga kerja paksa Uighur.
Dalam tuduhan terpisah, ASPI juga menuduh operasi penambangan Dynasty Gold di Xinjiang menggunakan pekerja paksa etnis Uighur. Nike Canada telah membantah laporan tentang adanya produk miliknya yang diproduksi oleh pekerja paksa Uighur. Sementara Dynasty Gold mengatakan tidak memiliki kendali operasional atas tambang di Cina.
Pada Agustus 2022 lalu mantan Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Michelle Bachelet menerbitkan laporan setebal 48 halaman tentang kehidupan etnis Uighur di Xinjiang. Dalam laporan itu diungkapkan bahwa kejahatan kemanusiaan mungkin telah terjadi pada minoritas Uighur di Xinjiang. Laporan itu diterbitkan sesaat sebelum masa jabatan Bachelet sebagai Komisaris Tinggi untuk HAM PBB resmi berakhir.
“Tingkat penahanan sewenang-wenang dan diskriminatif terhadap warga Uighur dan kelompok mayoritas Muslim lainnya dengan konteks (dalam) pembatasan dan perampasan hak-hak dasar secara lebih umum dapat merupakan kejahatan internasional, khususnya kejahatan terhadap kemanusiaan,” demikian bunyi salah satu kalimat dalam laporan yang disusun Bachelet.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM tak dapat mengonfirmasi tentang dugaan ditahannya lebih dari 1 juta warga Uighur di kamp-kamp interniran. Namun mereka menilai, sangat masuk akal untuk menyimpulkan bahwa pola penahanan sewenang-wenang skala besar terjadi setidaknya antara 2017 dan 2019
Laporan Komisaris Tinggi PBB untuk HAM meminta Cina untuk membebaskan semua individu yang ditahan secara sewenang-wenang dan mengklarifikasi keberadaan mereka yang hilang. Cina mengecam laporan terkait dugaan pelanggaran terhadap etnis Uighur tersebut.
Cina telah konsisten membantah laporan yang menyebut ada pelanggaran HAM sistematis di Xinjiang, termasuk penahanan lebih dari satu juta masyarakat Uighur. Namun Beijing tak menampik tentang adanya pusat-pusat pendidikan vokasi di sana.
Beijing mengklaim, pusat itu sengaja didirikan untuk memberi pelatihan keterampilan dan keahlian kepada warga Uighur dan etnis minoritas lainnya. Dengan demikian, mereka dapat bekerja dan angka pengangguran di Xinjiang dapat berkurang.