Bagaimana Parlemen Thailand akan Memilih PM Berikutnya?
Parlemen Thailand akan memulai proses pemungutan suara untuk PM baru
REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Parlemen Thailand pada Kamis (13/7/2023) akan memulai proses pemungutan suara untuk perdana menteri baru. Pemilihan ini akan menguji kesatuan aliansi delapan partai yang berusaha membentuk pemerintahan berikutnya.
Bagaimana sistem pemilihan perdana menteri?
Majelis rendah 500 kursi yang baru terpilih dan Senat beranggotakan 250 orang yang ditunjuk harus memberikan suara untuk memilih perdana menteri baru. Setelah sesi diadakan, partai akan diminta untuk menominasikan kandidat, yang membutuhkan dukungan dari 50 anggota.
Pemungutan suara adalah pemungutan suara terbuka dan masing-masing dari 750 legislator akan dipanggil dalam urutan abjad untuk mengungkapkan pilihan mereka. Untuk menjadi perdana menteri, seorang kandidat membutuhkan 376 suara atau lebih dari setengah suara legislatif.
Jika tidak ada yang mencapai ambang itu, pemungutan suara putaran kedua akan dijadwalkan. Calon yang sama dapat diajukan kembali atau calon baru dapat diajukan dan proses ini diulangi sampai salah satu calon mendapatkan 376 suara. Tidak ada batasan waktu.
Siapa yang dapat menjadi kandidat perdana menteri?
Menjelang pemilu 14 Mei, masing-masing partai diharuskan mengajukan calon perdana menteri yang potensial. Partai yang memenangkan setidaknya 25 dari 500 kursi majelis rendah dapat mencalonkan salah satu nama untuk dipilih.
Saat ini ada sembilan orang yang memenuhi syarat. Salah satunya Pita Limjaroenrat dari partai pemenang pemilu Move Forward, dan Pheu Thai yang berada di posisi kedua, yang merupakan taipan real estate Srettha Thavisin. Kemudian kandidat lainnya adalah Paetongtarn Shinawatra, putri dan keponakan mantan perdana menteri Thaksin Shinawatra, dan Yingluck Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta.
Kandidat dari pihak oposisi yang memenuhi syarat antara lain Wakil Perdana Menteri Anutin Charnvirakul, serta mantan panglima militer dan pemimpin junta Prawit Wongsuwan. Mantan perdana menteri Prayuth Chan-ocha, yang telah mengumumkan pensiunnya dari politik, memenuhi syarat sebagai kandidat.
Konstitusi juga memiliki ketentuan bagi orang luar untuk dicalonkan sebagai perdana menteri. Tetapi aturan menetapkan bahwa orang tersebut membutuhkan dukungan dua pertiga, atau 500 anggota parlemen.
Siapa saja kandidat terkuat?
Aliansi delapan pihak ini mendukung Pita dari Partai Move Forward. Pita adalah mantan eksekutif aplikasi perjalanan dan pengiriman Grab, serta lulusan perguruan tinggi di Amerika Serika.
Jenderal purnawirawan Prawit dianggap sebagai calon kuat, tetapi Palang Pracharat yang didukung militer menegaskan tidak akan mencalonkan diri. Sejauh ini tidak ada orang lain yang menyatakan niat untuk mencalonkan diri. Tetapi hal ini kemungkinan akan berubah jika Pita gagal dalam pemungutan suara pertama. Pita diharapkan menjadi calon tunggal.
Apakah Pita bisa memenangkan pemilihan?
Aliansi Pita memiliki 312 kursi, jadi dia membutuhkan 64 suara dari partai lain atau dari senator. Tapi itu tidak akan mudah. Agenda anti-kemapanan Move Forward, yang mencakup reformasi pada institusi seperti militer dan undang-undang lese-majeste yang melarang penghinaan terhadap monarki yang dihormati, mungkin terlalu sulit untuk diterima oleh senator konservatif.
Beberapa perkembangan yang mengejutkan pada malam pemungutan suara mungkin dapat merusak citra Pita dan peluangnya untuk mendapatkan suara yang dibutuhkan. Mahkamah Konstitusi pada Rabu (12/7/2023) setuju untuk menerima pengaduan terhadap Pita dan Partai Move Forward atas kebijakan mereka tentang undang-undang lese-majeste. Selain itu, Partai Demokrat juga menegaskan 25 anggota parlemennya tidak akan mendukung Pita karena sikap Move Forward pada hukum lese-majeste.
Bagaimana jika Pita gagal?
Move Forward mungkin telah salah perhitungan sebelum pemilihan. Mereka menyebut Pita sebagai satu-satunya calon perdana menteri potensial. Mitra aliansi Pheu Thai, seorang tokoh politik kelas berat, mungkin memanfaatkan kesempatan untuk mencalonkan salah satu kandidatnya sebagai perdana menteri, yang dapat mengubah dinamika koalisi secara signifikan.
Kemungkinan lain adalah bahwa Pheu Thai mendukung seorang kandidat dari luar aliansi dengan imbalan kendali atas kementerian-kementerian utama. Dalam skenario itu, perdana menteri yang paling mungkin adalah pensiunan jenderal Prawit.
Prawit terlibat dalam dua kudeta terakhir. Ironisnya Prawit menggembar-gemborkan dirinya sebagai sosok pemersatu yang mampu menjembatani perpecahan politik. Prawit memiliki koneksi dan pengaruh yang dalam di lembaga, Senat, dan di antara kaum konservatif yang cukup untuk menggalang dukungan.