Eksportir Rumput Laut Minta Kaji Ulang Aturan Baru Devisa Ekspor
Ketentuan pengaturan devisa ekspor bakal berdampak terhadap pembelian rumput laut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mengaku keberatan terhadap aturan baru devisa hasil ekspor (DHE) yang baru diterbitkan pemerintah. Pasalnya, ketentuan baru pengaturan devisa ekspor bakal berdampak terhadap pembelian rumput laut dari pembudi daya masyarakat pesisir.
Pasal 7 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 dijelaskan, DHE SDA yang telah dimasukkan dan ditempatkan eksportir ke rekening khusus DHE SDA wajib tetap ditempatkan paling sedikit 30 persen dalam sistem keuangan Indonesia paling singkat tiga bulan sejak penempatan devisa ke rekening khusus.
Ketua Umum ARLI Safari Azis mengatakan, kewajiban penembatan devisa ekspor selama tiga bulan akan menjadi permasalahan serius bagi anggota ARLI. Pasalnya, secara langsung dapat menganggu perputaran uang yang berimbas pada penurunan volume ekspor rumput laut secara signifikan.
“Tentunya ini akan menghambat pembelian rumput laut dari pembudi daya rumput laut di Indonesia yang tidak bisa dihutangi setiap menjual hasil panennya,” kata Safari kepada Republika, Jumat (14/7/2023).
Ia menjelaskan, mau tak mau eksportir rumput laut harus memiliki modal kerja tambahan akibat adanya peraturan tersebut. PP Nomor 36 Tahun 2023 itu berlaku untuk sektor pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Safari mengatakan, semestinya kebijakan DHE tersebut ditujukan untuk sumber daya alam yang habis ditambang. “Bukan hasil budi daya seperti rumput laut. Kasihan nanti masyarakat pesisir dan pulau-pulau jika pada saat panen rumput laut, pembelian tidak lancar dari eksportir, apalagi dengan eksportir UKM,” katanya.
Oleh karena itu, ARLI meminta agar pemerintah mempertimbangkan kembali untuk tidak menerapkan peraturan tersebut kepada eksportir yang telah mengkonversi devisanya ke mata uang rupiah. Dengan begitu, eksportir rumput laut yang membutuhkan modal dapat menggunakan sepenuhnya devisa untuk pembelian bahan baku dan operasional.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I), Budhi Wibowo mengatakan hal senada. Ia menjelaskan, 95 persen anggota AP5I merupakan eksportir produk olahan ikan dari Indonesia ke mancanegara.
Ia mengatakan, kebijakan tersebut dipastikan bakal menganggu arus kas para eksportir. Alhasil, pelaku usaha yang semestinya menggunakan pendapatannya untuk produksi selanjutnya ikut terhambat.
“Kalau 30 persen ditahan, perputaran kami akan berkurang 30 persen, kalau tiga bulan berkurang 90 persen. Ini bunuh diri, karena kami tidak punya yang untuk beli ikan lagi, yang pasti itu akan berkurang dan ekspor akan ikut berkurang,” kata Budhi.