Ketua RT Sebut Pemilik Kecolongan Rumahnya Disewa Sindikat Internasional Jual-Beli Ginjal
Sebuah rumah kontrakan di Villa Mutiara Gading, Bekasi bulan lalu digerebek polisi.
REPUBLIKA.CO.ID, BEKASI -- Suasana rumah kontrakan di Perumahan Villa Mutiara Gading, tepatnya di Jalan Piano 9, Blok F5 Kelurahan Setia Asih, Kecamatan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi Jawa Barat, terlihat sepi pada Jumat (21/7/2023). Sebelumynya pada Juni 2023, rumah ini digerebek polisi karena diduga menjadi lokasi penampungan ginjal hasil kerja sindikat jual-beli organ jaringan internasional.
Pantauan Republika pukul 13.15 WIB, rumah ini terlihat sepi tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia di dalamnya. Namun, di teras hanya ada beberapa peralatan cat tembok tergeletak begitu saja di teras rumah itu.
Bahkan, rumah ini juga tidak terlihat ada garis polisi sebagai tanda rumah ini masih dalam pengawasan polisi terkait dugaan tindak pidana penjual bagian organ tubuh manusia. Nurdin warga sekitar rumah itu mengaku baru tahu rumah yang persis di rumahnya itu pernah digerebek polisi.
"Saya baru tahu kalau rumah ini pernah digerebek polisi karena jadi penampungan ginjal," kata Nurdin saat keluar pintu rumahnya, Jumat (21/7/2023).
Nurdin mengatakan, selama ini dia tidak pernah melihat rumah itu diberi garis polisi. Sehingga wajar dia, tidak tahu jika rumah tersebut pernah digunakan sesuatu yang melanggar hukum.
"Setau saya tidak pernah ada garis polisi. Mungkin karena tidak ditemukan barang buktinya," katanya.
Ditemui terpisah Ketua RT Jalan Piano 9, Blok F5 Nuraisyah mengaku kaget masih ada yang tanya masalah penjualan ginjal yang terjadi di perumahannya. "Masih aja ditanyain mas. Sudah lama itu," kata Nuraisyah saat keluar pintu rumahnya yang siap berangkat ke pengajian.
Nuraisyah mengaku tidak bisa menceritakan lagi, karena kasusnya sudah ditangani pihak kepolisian. Namun, dia mengaku kecolongan ada orang yang sewa rumah warganya ternyata digunakan untuk usaha yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undang.
"Iya kita kecolongan. Ternyata rumah itu ganti-ganti penghuninya," katanya.
Nuraisyah mengatakan, pemilik rumah itu bernama Ibu Dirman. Niatnya rumah itu tidak akan disewakan lagi kepada orang yang benar-benar belum dikenalnya.
"Sekarang mau ditempati sendiri saja sama yang punya," katanya.
Diketahui, belakangan Polda Metro Jaya membongkar sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus penjualan organ tubuh ginjal ke luar negeri. Sebanyak 122 orang telah menjadi korban dan ginjal milik korban dijual dengan harga sekitar Rp 200 juta.
Ginjal para korban diambil di rumah sakit Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah ibu kota Kamboja, Phnom Penh. Para sindikat Indonesia menerima pembayaran Rp 200 juta per ginjal, sementara Rp 135 juta dibayar ke pendonor. Sindikat menerima Rp 65 juta per orang dipotong ongkos operasional pembuatan paspor, naik angkutan dari bandar ke rumah dan dan sebagainya," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi dalam konferensi pers di Polda Metro Jaya, Jakarta Selatan, Kamis (20/7/2023).
Menurut Hengki, total omzet yang didapat para sindikat sejak 2019 sampai dengan 2023 sebesar Rp 24,4 miliar. Angka tersebut didapat dari hasil penjualan ginjal sebanyak 122 korban. Namun, tidak tertutup kemungkinan jumlah korban masih bisa bertambah seiring dengan penyidikan yang masih berjalan.
Adapun motif para korban rela menjual bagia organ tubuhnya karena kebutuhan ekonomi. Sehingga para sindikat pun memanfaatkan kondisi ekonomi korban yang sedang tidak baik-baik saja. Latar belakang dari para korban cukup bervariasi mulai dari pedagang, guru hingga ada yang lulusan strata dua atau S2 di perguruan tinggi terkemuka.
"Para pelaku memanfaatkan posisi rentan para korban yang umumnya kesulitan secara finansial dan mengeksploitasi korban demi memperoleh keuntungan. Para korban dijanjikan diberi uang Rp 135 apabila berhasil mendonorkan ginjalnya," kata Hengki.
In Picture: Rilis TPPO Penjualan Organ Tubuh Jaringan Indonesia-Kamboja
Kadiv Hubinter Polri Irjen Krishna Murti pada hari ini ini menerangkan, proses pengambilan ginjal para korban TPPO dilakukan di Rumah Sakit (RS) Preah Ket Mealea yang terletak di wilayah Phnom Penh, ibu kota Kamboja. Dikatahui, Preah Ket Mealea merupakan RS militer yang ada di bawah kendali pemerintah Kamboja.
Sehingga, menurut Krishna, pihak kepolisian harus berkomunikasi dengan otoritas yang lebih tinggi di Kamboja dalam penanganan kasus TPPO dan penjualan ginjal. Bahkan, pihaknya harus berkomunikasi dengan staf khusus Perdana Menteri untuk meminta bantuan memulangkan para korban TPPO.
“Kami juga berkomunikasi ketat dengan kepolisian Kamboja, kami juga berkomunikasi ketat dengan Interpol Kamboja dan Alhamdulillah kasus ini bisa terungkap,” ungkap Krishna Murti saat konferensi pers di Mapolda Metro Jaya, Kamis (20/7/2023).
Krishna mengakui pihak penyidik sempat mengalami kesulitan atau kendala pada saat melakukan penelusuran dan penanganan kasus TPPO penjualan ginjal. Namun, anehnya untuk kasus TPPO lainnya pihak Mabes Polri tidak menemukan kesulitan atau kendala termasuk pada saat penyelidikan di Kamboja.
“Pada kasus TPPO (ginjal) ini kami mengalami kesulitan. Nah kesulitan itu menjadi tantangan bagi kami. Sehingga kami harus melakukan koordinasi yang ketat dengan didukung oleh KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) khususnya karena kami tidak punya atase Polri di Kamboja, kami meng-employing dukungan dari atase pertahanan,” ujar Krishna.
Menurut Krishna Murti, kendala itu didapat lantaran belum adanya kesepahaman antarkelembagaan di Indonesia dengan di Kamboja terkait TPPO modus penjualan ginjal. Ia juga mengakui jika hal itu lumrah terjadi, karena memang setiap negara memiliki persepsi dan peraturan atau perundang-undangan yang berbeda terhadap jenis tindak pidana. Salah satunya mengenai kegiatan jual-beli organ tubuh manusia, termasuk ginjal.
“Belum ada kesepahaman tentang kasus-kasus TPPO, baik di lingkungan internal dalam negeri domestik khususnya kementerian lembaga, termasuk KBRI, sebagian menganggap ini belum terjadi tindak pidana,” jelas Krishna Murti.