Ekonomi Indonesia Didominasi UMKM, Kemenkeu: Rasio Pajak Perlu Penyesuaian

UMKM dengan omzet Rp 4,8 miliar telah diberikan perlakuan khusus

Edi Yusuf/Republika
Para pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) memeriahkan kegiatan Festival Hijriah. 50 persen dari produk domestik bruto merupakan kontribusi dari usaha mikro dan kecil
Rep: Novita Intan Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah menyebut rasio pajak menyesuaikan kondisi struktur ekonomi negara. Hal ini mempertimbangkan implikasi terhadap usaha mikro dan kecil.


Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal mengatakan pihaknya berupaya mencari solusi yang lebih baik yang dapat menyesuaikan struktur ekonomi Indonesia. Saat ini sebanyak 50 persen dari produk domestik bruto merupakan kontribusi dari usaha mikro dan kecil.

"Setengah dari PDB yang mau menjadi basis pajak kita itu usaha kecil dan mikro yang pertanyaanya adalah mau dipajaki atau tidak," ujarnya saat webinar, Kamis (27/6/2023).

Yon menyebut peran usaha mikro dan kecil dalam struktur ekonomi perlu dipertimbangkan sebelum menentukan kebijakan pajak. Adapun struktur ekonomi Indonesia didominasi oleh UMKM, sebanyak 60 persen di antaranya UKM dan sekitar 37 persen lainnya merupakan usaha mikro yang memiliki omzet kurang dari Rp 300 juta per tahun.

"Kalau usaha mikro itu omzetnya Rp 300 juta per tahun, berarti Rp 1 juta per hari. Apa iya akan kita pajaki dengan cara yang sama atau tidak,” ucapnya.

Menurut Yon, selama ini usaha mikro dan kecil yang memiliki omzet Rp 4,8 miliar telah diberikan perlakuan khusus dengan pemberlakukan skema PPH final sebesar 0,5 persen selama tiga tahun pajak hingga tujuh tahun pajak.

Melalui aturan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022, pemerintah menetapkan wajib pajak orang pribadi yang tergolong pelaku usaha kecil dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun dibebaskan dari pajak penghasilan.

Di samping itu, rasio pajak Indonesia hanya menghitung perolehan pajak yang diterima Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC).

“Rasio pajak suatu negara tidak bisa serta-merta dibandingkan dengan negara lain karena dilihat apakah pengukuran dan model perpajakannya sama atau berbeda,” ucapnya.

Menurutnya jika menggunakan pengukuran lain, seperti Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), maka perpajakan juga menghitung royalti dan pajak daerah, sehingga ada tambahan 2,5 persen. 

“Tentu ada bagian yang hilang, pajak yang tidak kita kumpulkan. Tapi, tidak apa-apa. Dalam konteks pajaknya hilang, tapi ekonominya akan tumbuh, karena daya beli UMKM ini,” ucapnya.

Maka itu, Kementerian Keuangan pun menerbitkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Meskipun masih banyak faktor yang memengaruhi rasio pajak yang perlu ditingkatkan, namun Yon mengingatkan perlunya mempertimbangkan struktur ekonomi sebagai catatan.

“Tapi, tentu juga ada ruang-ruang dalam administrasi perpajakan yang perlu kita tingkatkan. Maka dari itu, saat ini kami selalu melakukan reformasi, seperti perbaikan SDM dan informasi teknologi,” ucapnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler