Kabasarnas Tersangka, Panglima TNI Kecewa

Kecewa karena kenapa korupsi masih terjadi di lingkungan TNI.

Republika/Putra M. Akbar
Penyidik memperlihatkan barang bukti uang kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021-2023 di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (26/7/2023). Pada OTT tersebut KPK menahan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil dan Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati Marilya sebagai tersangka terkait kasus dugaan tindak pidana korupsi suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun 2021/2023 dengan barang bukti berupa uang senilai Rp 999,7 juta. Selain itu KPK juga menetapkan Kepala Basarnas 2021-2023 Marsekal Madya Henri Alfiandi, Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto dan Komisaris Utama PT MGCS Mulsunadi Gunawan sebagai tersangka.
Rep: Flori Sidebang Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto diduga terlibat dalam kasus korupsi pengadaan barang dan jasa di Basarnas. Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI, Marsda Agung Handoko mengungkapkan, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono kecewa lantaran masih ada prajurit aktif militer yang melakukan tindak rasuah.

Baca Juga


 

"Yang perlu saya tegaskan di sini bahwa terus terang dengan adanya kejadian tangkap tangan ini khususnya, Panglima (TNI) sangat kecewa. Kecewa karena kenapa korupsi masih terjadi di lingkungan TNI. Itu yang perlu ditegaskan," kata Agung usai melakukan pertemuan dengan KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

Agung menekankan, prajurit TNI yang terlibat kasus pidana bakal ditindak secara tegas. Sebab, jelas dia, Panglima TNI berkomitmen menegakkan hukum, khususnya kasus korupsi. 

 

"Panglima sangat komit dengan masalah penegakan hukum, khususnya korupsi. Yang perlu rekan-rekan semua catat dalam proses penyelesaian untuk prajurit TNI yang terlibat dalam permasalahan ini, kita tim penyidik, aparat penegak hukum di lingkungan TNI akan melaksanakannya dengan transparan," tegas Agung.

Adapun dalam perkara ini, KPK juga menetapkan tiga tersangka lainnya sebagai pemberi suap, yaitu Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG); Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya (MR); dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil (RA).

Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penetapan status tersangka itu dilakukan setelah pihaknya mengantongi bukti yang cukup. Dalam kasus ini, Henri diduga mendapat fee 10 persen dari berbagai proyek di Basarnas sejak 2021-2023. Dia mengantongi uang suap hingga mencapai Rp 88,3 miliar.

Henri menentukan langsung besaran fee tersebut. Uang yang diserahkan disebut sebagai dana komando atau dako. Perinciannya, Mulsunadi memerintahkan Marilya menyerahkan duit sebesar Rp 999,7 juta di parkiran salah satu bank di Cilangkap. Sedangkan, Roni menyerahkan Rp 4,1 miliar dari aplikasi setoran bank.

 

“Atas penyerahan sejumlah uang tersebut, perusahaan MG, MR, dan RA dinyatakan sebagai pemenang tender,” ungkap Alex, Rabu (26/7/2023).

Uang suap itu diserahkan kepada Henri melalui orang kepercayaannya, yakni Afri. KPK dan Puspom TNI pun masih akan mendalami dugaan adanya pemberi suap lainnya.

 


Pada Jumat (28/7/2023), KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasanya mana kala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dalam konferensi pers seusai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

 

Johanis mengatakan, berdasarkan Pasal 10 UU Nomor 14 Tahun 1970 mengatur sistem peradilan di Indonesia ada empat, yakni peradilan militer, peradilan umum, peradilan tata usaha negara, dan peradilan agama. Dia menyebut, karena dalam kasus ini melibatkan prajurit aktif TNI, maka harus diserahkan kepada pihak militer.

 

"Ketika ada melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer. Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI, atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan," ucap Johanis.

"Oleh karena itu, kami dari jajaran lembaga pimpinan KPK beserta jajaran sudah menyampaikan permohonan maaf melalui pimpinan-pimpinan dan Puspom untuk disampaikan kepada Panglima. Dan ke depannya tidak ada lagi permasalahan seperti ini," sambung dia.

Johanis menambahkan, karena kasus ini melibatkan anggota aktif TNI, maka penanganannya dapat dilakukan secara koneksitas antara KPK dan Puspom TNI maupun ditangani sendiri oleh pihak militer. "Kami lagi berkoordinasi nantinya bagaimana yang terbaik untuk kedua lembaga demi bangsa dan negara dalam penanganan perkara korupsi," jelas Johanis.

 

 

Kontroversi Firli Bahuri - (Infografis Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler