PBB: Seorang Bayi Meninggal Karena Panas Ekstrem di Kamp Pengungsi Suriah 

Suhu di kota Idlib di Suriah mencapai 30-46 derajat Celcius.

EPA
Kamp pengungsi di Idlib, Suriah. Seorang bayi berusia satu tahun meninggal di sebuah kamp pengungsian di Kota Idlib, barat laut Suriah, akibat cuaca panas ekstrem
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Seorang bayi berusia satu tahun meninggal di sebuah kamp pengungsian di Kota Idlib, barat laut Suriah. Balita itu kesehatannya memburuk karena panas ekstrem. 

Baca Juga


Juru bicara PBB, Stephane Dujarric mengatakan, bayi itu dan keluarganya tinggal di sebuah tenda tua yang berusia tiga tahun di kamp pengungsi di Kota Idlib. Suhu di kota itu mencapai 30-46 derajat Celcius.

"Mitra kami melaporkan bahwa setidaknya 165 tenda di kamp kekurangan insulator panas untuk melindungi orang dari kondisi cuaca ekstrem," kata Dujarric, dilaporkan Middle East Monitor, Sabtu (29/7/2023).

Dujarric menambahkan, sekitar 800.000 orang masih tinggal di tenda hingga hari ini. Seringkali tenda dalam kondisi penuh sesak karena melebihi kapasitas. PBB dan mitranya berencana untuk memindahkan orang-orang terlantar di Suriah barat laut dari tenda ke tempat penampungan yang layak.

"Kondisi kehidupan (pengungsi di Suriah) tetap sulit bagi 800.000 orang yang masih tinggal di tenda saat ini, seringkali dalam kondisi penuh sesak."

Pada musim panas terjadi kebakaran di  wilayah Suriah. Pada Juli, setidaknya 134 kebakaran telah dilaporkan di barat laut Suriah. Lebih dari 320 insiden kebakaran telah mempengaruhi lebih dari 720 tenda yang menampung orang-orang terlantar sejak awal tahun.

Sekitar 1,9 juta orang terlantar tinggal di sekitar 1.430 kamp atau lokasi pemukiman sendiri di barat laut Suriah. Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.

Seorang pengungski, Hamida Dandoush memercikkan air ke tendanya berharap dapat meredakan suhu tinggi untuk dirinya dan keluarganya. Wanita berusia 62 tahun dari Kota Maardabsah itu tinggal di kamp Sahara dekat perbatasan Suriah-Turki. Sekitar 80 keluarga di kamp itu mengalami kondisi kehidupan yang keras di tengah gelombang panas yang hebat yang melanda wilayah tersebut.

“Kami hidup seperti di dalam oven, berjuang untuk bernapas karena panas di dalam tenda. Jika bukan karena air yang kami siramkan di tenda, kami akan mati karena panas yang menyengat,” kata Dandoush, dilaporkan Aljazirah.

Dandoush tinggal di tenda bersama....

Dandoush tinggal di tenda bersama putri dan cucunya. Dandoush mengatakan, setiap hari dia melakukan upaya yang untuk membuat keluarganya merasa sejuk, termasuk memasukkan cucunya ke dalam wadah plastik dan menuangkan air dingin ke atasnya.

“Jika orang tua seperti kita tidak tahan dengan cuaca seperti ini, bagaimana dengan anak kecil? Kemarin, cucu saya mulai gemetar dan kesulitan bernapas, jadi kami membawanya ke rumah sakit, dan mereka memberi tahu kami bahwa itu terjadi karena panas di dalam tenda," ujar Dandoush.

Pengungsi lainnya, Hazem al-Hajji (30 tahun) dari pedesaan Idlib selatan yang tinggal di salah satu kamp dekat perbatasan Suriah-Turki, mengumpulkan anak-anak dari kamp dan menyemprot mereka dengan air. Al-Hajji mencoba menghibur mereka dan mengurangi intensitas panas.

“Anak-anak kita menanggung beban lebih dari yang dapat mereka tanggung.  Begitu musim dingin yang membekukan hilang, mereka dilanda musim panas yang membakar tubuh lemah mereka,” kata al-Hajji.

Al-Hajji mengatakan, sebagian besar tenda kekurangan alat pendingin, kecuali air. Alat pendingin yang tersedia adalah kipas angin. Al-Hajji menambahkan, kipas angin tidak dapat mendinginkan suhu sekitar, dan justru menggerakkan udara panas.

“Kami sangat menantikan ketiadaan matahari untuk memberikan tubuh kami sedikit istirahat dari panas yang melelahkan,” kata al-Hajji. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler