Opisisi: Penundaan Pemilu Myanmar Karena Junta Tidak Mau Kehilangan Kekuasaan

Selama junta Myanmar berkuasa lebih dari 24.000 orang ditangkap.

EPA-EFE/LYNN BO BO
Para pengunjuk rasa membawa sepeda mereka selama protes menentang kudeta militer di luar Kedutaan Besar China di Yangon, Myanmar, 19 Februari 2021.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Militer Myanmar secara resmi menunda pemilihan yang dijanjikan pada Agustus tahun ini, dan memperpanjang keadaan darurat. Menanggapi hal tersebut, juru bicara Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) atau oposisi, Nay Phone Latt mengatakan, perpanjangan keadaan darurat dan penundaan pemilu berlangsung karena junta tidak ingin kehilangan kekuasaan.

Baca Juga


“Junta memperpanjang keadaan darurat karena para jenderal memiliki nafsu akan kekuasaan dan tidak ingin kehilangannya. Adapun kelompok revolusioner, kami akan terus berusaha untuk mempercepat kegiatan revolusioner kami saat ini,” kata Nay Phone Latt kepada kantor berita The Associated Press.

Amerika Serikat (AS) mengatakan memperpanjang keadaan darurat akan menjerumuskan Myanmar  ke dalam kekerasan dan ketidakstabilan. Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Matthew Miller mengatakan, sejak kudeta rezim militer telah melakukan ratusan serangan udara, membakar puluhan ribu rumah, dan menelantarkan lebih dari 1,6 juta orang.

“Kebrutalan rezim yang meluas dan mengabaikan aspirasi demokrasi rakyat Burma terus memperpanjang krisis,” ujar Miller.

Tindakan keras militer terhadap perbedaan pendapat telah menewaskan lebih dari 3.800 orang, sementara lebih dari 24.000 orang ditangkap. Militer mengatakan lebih dari 5.000 warga sipil telah dibunuh oleh 'teroris' sejak merebut kekuasaan. Teroris yang dimaksud oleh militer Myanmar adalah kelompok perlawanan NUG dan sayap bersenjatanya Pasukan Pertahanan Rakyat.

Sementara itu, upaya diplomatik untuk mengakhiri konflik yang dipimpin oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan blok regional Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) terhenti. Militer menolak untuk terlibat dengan lawan-lawannya. 

Dalam sebuah pernyataan yang disiarkan di televisi negara pada Senin (31/7/2023) militer mengatakan, pemilu ditunda karena kekerasan yang terus berlangsung. “Agar pemilihan umum bebas dan adil dan juga untuk dapat memberikan suara tanpa rasa takut, pengaturan keamanan yang diperlukan masih diperlukan dan periode keadaan darurat telah diperpanjang,” kata pernyataan militer.

Pengumuman tersebut merupakan pengakuan bahwa militer tidak melakukan kendali yang cukup kuat untuk mengadakan pemungutan suara. Militer telah gagal menaklukkan oposisi yang meluas, perlawanan bersenjata, dan pembangkangan sipil.

Militer awalnya mengumumkan bahwa pemungutan suara baru akan diadakan setahun setelah kudeta. Militer menjanjikan pemilu berlangsung pada Agustus 2023. Namun pemimpin kudeta, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, mengatakan, pemungutan suara tidak dapat dilakukan di tengah berlanjutnya pertempuran di wilayah Sagaing, Magway, Bago dan Tanintharyi serta negara bagian Karen, Kayah dan Chin.  

“Kami perlu waktu untuk melanjutkan tugas kami untuk persiapan sistematis karena kami tidak boleh mengadakan pemilihan yang akan datang dengan tergesa-gesa,” kata Min Aung Hlaing kepada Dewan Pertahanan dan Keamanan Nasional (NDSC) yang didukung militer.

Junta tidak merinci kapan pemungutan suara akan diadakan. Mereka mengatakan, pemilu akan berlangsung setelah tujuan keadaan darurat tercapai.

Militer telah memperpanjang keadaan darurat diperpanjang sebanyak empat kali sejak kudeta pada 2021. Langkah ini memungkinkan militer menjalankan semua fungsi pemerintahan. Min Aung Hlaing saat ini menjadi kepala dewan pemerintahan, sekaligus memegang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler