MAKI akan Laporkan Semua Pimpinan KPK ke Dewan Pengawas Besok

Pelaporan ini buntut polemik penetapan status tersangka Kepala Basarnas.

Antara/Asprilla Dwi Adha
Danpuspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko (kanan) bersama Ketua KPK Firli Bahuri (kiri) berjabat tangan usai konferensi pers terkait kasus dugaan korupsi Kabasarnas di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Senin (31/7/2023). Puspom TNI menetapkan Kabasarnas Marsdya TNI Hendri Alfiandi (HA) dan Koorsmin Kabasarnas Lektol Administrasi Afri Budi Cahyanto (ABC) sebagai ntersangka dalam kasus dugaan suap proyek alat deteksi reruntuhan.
Rep: Flori Sidebang Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) bakal melaporkan lima Komisioner KPK ke Dewan Pengawas (Dewas) pada Rabu (2/8/2023). Pelaporan ini merupakan buntut polemik penetapan status tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsdya Henri Alfiandi.

Baca Juga


"Fokusnya adalah penetapan tersangka TNI salah karena tidak berwenang dan tidak ada sprindik (surat perintah penyidikan)," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman kepada wartawan, Selasa (1/8/2023).

Boyamin mengatakan, pihak yang dilaporkan dalam hal ini adalah seluruh Komisioner KPK. Terutama Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata yang mengumumkan status penetapan tersangka Marsdya Henri dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring sebagai tersangka kasus suap di Basarnas pada konferensi pers, Rabu (26/7/2023) lalu.

"(Yang dilaporkan) Alexander Marwata yang jumpa pers. Dan seluruh pimpinan karena sifat kolektif kolegial, apa yang dilakukan AM (Alexander Marwata) adalah personifikasi pimpinan (KPK)," jelas Boyamin.

Sebelumnya, MAKI mendesak Dewas KPK untuk mengusut dugaan pelanggaran etik dalam penetapan tersangka kasus suap Kabasarnas Marsdya Henri Alfiandi. Dewas KPK dinilai berwenang melakukan evaluasi terhadap kejadian yang membuat KPK sampai meminta maaf kepada masyarakat dan TNI.

Polemik ini bermula ketika KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan suap pengadaan barang di Basarnas pada Selasa (25/7/2023). Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut. 

Kemudian, dalam konferensi pers pada Rabu (26/7/2023) KPK mengumumkan Marsdya Henri dan Letkol Afri sebagai tersangka dalam kasus tersebut. Namun, Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai, penetapan status hukum tersebut menyalahi aturan lantaran pihak militer memiliki aturan khusus dalam menetapkan tersangka bagi prajurit TNI yang melanggar hukum.

"Dari tim kami terus terang keberatan, kalau itu ditetapkan sebagai tersangka, khususnya untuk yang militer. Karena kami punya ketentuan sendiri, punya aturan sendiri. Namun, saat press conference (KPK) ternyata statement itu keluar bahwa Letkol ABC maupun Kabasarnas Marsdya HA ditetapkan sebagai tersangka," kata Agung dalam konferensi pers di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023).

Setelah itu, KPK mengakui adanya kekhilafan dalam menetapkan status tersangka terhadap Marsdya Henri dan Letkol Afri terkait kasus suap pengadaan barang di Basarnas. Lembaga antirasuah ini menyebut, proses penetapan itu harusnya ditangani oleh pihak TNI.

"Dalam pelaksanaan tangkap tangan itu ternyata tim menemukan, mengetahui adanya anggota TNI dan kami paham bahwa tim penyelidik kami mungkin ada kekhilafan, kelupaan, bahwasannya mana kala ada melibatkan TNI harus diserahkan kepada TNI, bukan kita yang tangani. Bukan KPK," kata Wakil Ketua KPK, Johanis Tanak dalam konferensi pers usai menemui rombongan Puspom TNI di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Jumat (28/7/2023).

"Ketika ada melibatkan militer, maka sipil harus menyerahkan kepada militer. Di sini ada kekeliruan, kekhilafan dari tim kami yang melakukan penangkapan. Oleh karena itu, kami dalam rapat tadi sudah menyampaikan kepada teman-teman TNI kiranya dapat disampaikan kepada Panglima TNI dan jajaran TNI, atas kekhilafan ini kami mohon dimaafkan," sambung dia.

 


 

Berbeda dengan Johanis Tanak, Wakil Ketua KPK yang lain, Alexander Marwata menegaskan bahwa dirinya tak menyalahkan penyelidik maupun penyidik KPK terkait OTT perkara suap di Basarnas. Menurut Marwata, jika ada kesalahan dalam penetapan status tersangka pada kasus ini, itu merupakan kekhilafan pimpinan KPK.

"Saya tidak menyalahkan penyelidik/penyidik maupun jaksa KPK. Mereka sudah bekerja sesuai denfan kapasitas dan tugasnya. Jika dianggap sebagai kekhilafan, itu kekhilafan pimpinan," kata Alex dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (29/7/2023).

Alex menjelaskan, dalam kegiatan tangkap tangan itu, KPK sudah mendapatkan setidaknya dua alat bukti, yaitu keterangan para pihak yang tertangkap dan barang bukti berupa uang, serta bukti elektronik berupa rekaman penyadapan percakapan. Artinya, jelas dia, dari sisi kecukupan alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. 

"Dalam gelar perkara yang dihadiri lengkap oleh penyelidik, penyidik penuntut umum, pimpinan dan juga diikuti oleh penyidik dari Puspom TNI tidak ada yang menolak/keberatan untuk menetapkan lima orang sebagai tersangka. Semua diberi kesempatan berbicara untuk menyampaikan pendapatnya," jelas Alex.

Dia mengungkapkan, dalam gelar perkara atau ekspose juga disimpulkan agar oknum TNI yang terlibat dalam kasus ini, penanganannya diserahkan ke Puspom TNI. Oleh karena itu, KPK tidak menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik) atas nama anggota TNI yang diduga sebagai pelaku.

"Secara substansi/materiil sudah cukup alat bukti untuk menetapkan mereka sebagai tersangka. Secara administratif nanti TNI yang menerbitkan sprindik untuk menetapkan mereka sebagai tersangka setelah menerima laporan terjadinya peristiwa pidana dari KPK," ungkap Marwata.

 

Kontroversi Firli Bahuri - (Infografis Republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler