Junta Myanmar Beri Grasi kepada Aung San Suu Kyi
Grasi tidak akan mengampuni Aung San Suu Kyi
REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Junta Myanmar memberikan grasi kepada Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil yang mereka gulingkan dalam kudeta pada Februari 2021. Grasi turut diberikan kepada mantan presiden Win Myint, tokoh yang turut ditangkap bersama Suu Kyi ketika kudeta 2,5 tahun lalu.
“Grasi tidak akan mengampuni Aung San Suu Kyi dan Presiden Win Myint atas semua dugaan pelanggaran, tapi hanya mengurangi hukuman mereka,” tulis media Myanmar Now dalam laporannya, Selasa (1/8/2023).
Informasi mengenai pemberian grasi kepada Suu Kyi dan Win Myint tersiar sehari setelah junta memperpanjang keadaan darurat negara selama enam bulan ke depan. Junta telah empat kali melakukan perpanjang masa keadaan darurat sejak melaksanakan kudeta pada Februari 2021.
Berbarengan dengan perpanjangan masa keadaan darurat, junta Myanmar pun memutuskan menunda penyelenggaraan pemilu. Hal itu melenceng dari apa yang mereka janjikan ketika mengkudeta pemerintahan Suu Kyi. Alasan yang dipakai junta untuk menunda pemilu adalah masih berlangsungnya kekerasan.
“Agar pemilu bebas dan adil serta untuk dapat memberikan suara tanpa rasa takut, pengaturan keamanan yang diperlukan masih dibutuhkan dan periode keadaan darurat telah diperpanjang,” kata militer Myanmar dalam pernyataannya, Senin (31/7/2023) lalu.
Indonesia selaku ketua ASEAN tahun ini masih memantau perkembangan situasi terbaru di Myanmar, termasuk perihal penundaan pemilu. “Masih didalami perkembangan ini,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Teuku Faizasyah saat ditanya tentang bagaimana sikap Indonesia sebagai ketua ASEAN atas perkembangan di Myanmar, Selasa.
Teuku belum dapat memberi penjelasan lebih lanjut terkait perkembangan di internal ASEAN. “Saya tidak ada info,” ucapnya ketika ditanya tentang apakah sudah ada komunikasi di antara para negara anggota ASEAN terkait keputusan junta Myanmar menunda pemilu.
Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar melancarkan kudeta terhadap pemerintahan sipil di negara tersebut. Mereka menangkap pemimpin de facto Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan beberapa tokoh senior partai National League for Democracy (NLD). NLD adalah partai yang diketuai oleh Aung San Suu Kyi.
Kudeta dan penangkapan sejumlah tokoh itu merupakan respons militer Myanmar atas dugaan kecurangan pemilu yang digelar pada November 2020. Dalam pemilu itu, NLD pimpinan Suu Kyi menang telak dengan mengamankan 396 dari 476 kursi parlemen yang tersedia. Itu merupakan kemenangan kedua NLD sejak berakhirnya pemerintahan militer di sana pada 2011.
Setelah kudeta, hampir seluruh wilayah di Myanmar diguncang gelombang demonstrasi. Massa menentang kudeta dan menyerukan agar para pemimpin sipil yang ditangkap dibebaskan. Namun militer Myanmar merespons aksi tersebut secara represif dan brutal.
Dalam laporannya yang diterbitkan pada Juni 2023 lalu, Peace Research Institute Oslo mengungkapkan, sejak kudeta pada Februari 2021, lebih dari 6.000 orang terbunuh di Myanmar. Sementara itu PBB menyebut, setidaknya 1,2 juta orang juga telah terlantar atau kehilangan tempat tinggal akibat pertempuran pasca-kudeta.