Temukan Titik Lemah Virus Corona, Ilmuwan Singkap Antibodi yang Bikin Keok Semua Varian
Covid-19 disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2, virus corona tipe baru.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ilmuwan telah menemukan antibodi baru yang dapat memusnahkan hampir semua varian virus penyebab Covid-19. Antibodi ini diisolasi dari darah pasien yang sembuh dari SARS pada 2000-an dan menerima vaksin virus corona pada 2021.
Para peneliti di Duke-NUS Medical School Singapura yang memimpin penelitian tersebut mengatakan, kombinasi unik dari infeksi virus corona sebelumnya dan vaksinasi menghasilkan respons antibodi yang sangat luas dan kuat. Itu bahkan mampu membuat keok hampir semua varian corona terkait yang diuji.
Tim mengidentifikasi enam antibodi yang dapat menetralkan banyak virus termasuk SARS-CoV-2 (Covid-19) dan variannya alpha, beta, gamma, delta, dan omicron, virus SARS asli, dan beberapa virus corona hewan lainnya yang ditularkan dari kelelawar dan trenggiling. Dikutip dari The Sun, Rabu (2/8/2023), yang paling kuat, E7, menetralkan sarbecovirus SARS-CoV dan SARS-CoV-2, sarbecovirus hewan, dan galur SARS-CoV-2 yang baru muncul, seperti omicron XBB.1.16.
Para penulis mengatakan bahwa penelitian itu menargetkan kelemahan tertentu pada protein lonjakan virus, yang digunakannya untuk menyerang sel. E7 tampaknya memblokir proses perubahan bentuk yang dibutuhkan virus untuk menginfeksi sel dan menyebabkan penyakit.
"Potensi penetralan dan luasnya antibodi E7 melebihi antibodi virus corona terkait SARS lainnya yang pernah kami temui. Ia mempertahankan aktivitas bahkan terhadap subvarian omicron terbaru, sementara sebagian besar antibodi lain kehilangan keefektifannya," kata penulis pertama Dr Chia Wan Ni.
Temuan ini membantu mengungkap titik lemah virus corona. Peneliti juga menyediakan template untuk merancang vaksin dan obat lain yang bekerja melawan varian dan potensi wabah di masa depan.
"Ini memberikan harapan bahwa desain vaksin virus corona universal dapat dicapai," kata penulis senior dan pakar virus kelelawar Prof Wang Linfa.
Sementara itu, Prof Patrick Tan, yang merupakan wakil dekan senior untuk penelitian itu, mengapresiasi upaya kolaboratif yang dipimpin oleh Prof Wang dan timnya. Menurutnya, itu dapat memperluas kemampuan para ilmuwan dalam melindungi dari ancaman virus corona yang saat ini mengancam kesehatan manusia serta virus baru yang mungkin muncul di masa depan.
"Ini menggarisbawahi peran penting penelitian sains dasar dalam memajukan pengetahuan, dengan tujuan menemukan pendekatan baru untuk mengubah pengobatan dan meningkatkan kualitas hidup," kata Prof Tan.
Pasien berusia 51 tahun itu menerima suntikan BioNTech/Pfizer pada Januari hingga Februari 2021. Setelah plasmanya dikumpulkan, sel mononuklear darah tepi diekstraksi dan cryopreserved kemudian diwarnai untuk tetramer SARS-CoV RBD (SC1) dan SARS-CoV-2 RBD (SC2).
Penelitian ini juga melibatkan ilmuwan dari National University of Singapore, University of Melbourne di Australia, dan Fred Hutchinson Cancer Research Center di Amerika Serikat. Penelitian telah dipublikasikan di jurnal Science Advances.