Masa Depan Kecerdasan Buatan: Potensi, Risiko, dan Peran Masyarakat

Penelusuran perkembangan kecerdasan buatan (AI), dampaknya terhadap masyarakat, serta tindakan para ahli dan pemimpin dalam mengatasi risiko dan memaksimalkan potensi teknologi ini.

retizen /Mahéng
.
Rep: Mahéng Red: Retizen

Sejak dimulai secara masif pada akhir 1950-an hingga diperkenalkan oleh John McCarthy, Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence) dan pembelajaran mesin telah mengalami perkembangan pesat.


Teknologi ini kini telah mencapai tingkat kemajuan yang sangat maju dan canggih, didorong oleh perkembangan dalam bidang ilmu data dan komputasi seperti Jaringan Saraf Tiruan (neural networks) dan Pembelajaran Mendalam (deep learning).

Dalam teknologi kecerdasan buatan, neural networks adalah sistem komputasi yang menyerupai kemampuan otak manusia dalam mempelajari dan memproses informasi.

Dengan adanya sistem komputasi ini, memungkinkan kecerdasan buatan untuk belajar melalui pengalaman, serupa dengan cara manusia melakukannya. Inilah yang dikenal sebagai deep learning.

Bapak kecerdasan buatan, Geoffrey Hinton, memiliki peran penting dalam riset dan pengembangan neural networks dan deep learning yang telah membuka jalan bagi lahirnya berbagai sistem kecerdasan buatan masa kini seperti Chat Generative Pre-trained Transformer (ChatGPT) milik OpenAI dan Bard AI milik Google.

Sangat penting untuk diingat, segala hal yang kamu sampaikan kepada ChatGPT dan Bard, termasuk data pribadi dan informasi sensitif, akan dicatat, disimpan, dan digunakan untuk mengembangkan kecerdasan buatan ini lebih lanjut.

Proses ini bisa disamakan dengan cara manusia memproses informasi baru yang kemudian disimpan dalam otak untuk diolah menjadi pengetahuan.

Beberapa waktu lalu, The Economist Korea melaporkan tiga kejadian di mana karyawan Samsung secara tidak sengaja telah membocorkan rahasia dagang dan informasi sensitif perusahaan kepada ChatGPT, dalam upaya meningkatkan kinerja mereka di tempat kerja.

Mulai dari memeriksa source code agar tidak ada kesalahan ketik (typo), karyawan Samsung lainnya berbagi kode dengan ChatGPT dan meminta "requested code optimization". Ketiga, ada karyawan yang membagikan rekaman rapat untuk diubah menjadi catatan guna presentasi.

Informasi tersebut sekarang tersebar di berbagai platform dan tersimpan di ChatGPT, serta memungkinkan perusahaan lain untuk memanfaatkan kebocoran data akibat kecerobohan tersebut.

Karena kejadian ini, induk perusahaan Google, yaitu Alphabet, yang juga merupakan pembuat Bard, pesaing ChatGPT, telah memberlakukan "larangan" atau memberikan peringatan kepada karyawan Google terkait penggunaan Bard buatan mereka sendiri.

Google khawatir, data sensitifnya dapat mengalami kebocoran serupa dengan yang dialami oleh Samsung Electronics.

Jika Google tidak percaya pada Bard, produk buatannya sendiri, bagaimana kita bisa percaya?

Oleh karena itu, ketakutan terhadap ancaman dari AI tidak muncul tanpa alasan. Geoffrey Hinton sendiri mengumumkan pengunduran dirinya dari Google melalui New York Times (NYT), dengan mengatakan bahwa sekarang dia menyesali pekerjaannya.

Jika kita mempertimbangkan bahwa otak manusia memiliki keterbatasan dalam menyimpan informasi, dan terkadang informasi tersebut bisa hilang dan sulit diolah karena berbagai faktor, seperti kelelahan atau konflik interpersonal.

Akan tetapi, kemampuan chatbot AI mampu melampaui batasan jumlah informasi yang dapat disimpan oleh otak manusia. Ditambah lagi, kemajuan dalam ilmu komputer akan terus mendukung kinerja neural network dan deep learning tanpa mengalami kelelahan.

Penerima Turing Award sebagai "Nobel Prize of Computing" pada tahun 2018, Yoshua Bengio, dalam artikel berjudul Slowing down development of AI systems passing the Turing test, mengungkapkan bahwa "Kita perlu melangkah mundur."

Bengio menggarisbawahi pentingnya mengurangi laju perkembangan sistem AI yang sedang berlangsung saat ini, agar tidak mengorbankan prinsip-prinsip kehati-hatian dan etika.

Tidak ada jaminan bahwa di masa depan seseorang tidak akan mengembangkan sistem AI otonom yang berpotensi berbahaya, dengan perilaku yang menyimpang dari tujuan dan nilai-nilai manusia.

Hal ini sebenarnya sudah diingatkan oleh Stephen Hawking sejak tahun 2016 dalam sebuah workshop yang diadakan oleh Pontifical Academy of Sciences. Hawking secara tegas menyoroti potensi bahaya, terutama berkaitan dengan perlombaan senjata AI.

Dalam konteks saat ini, kita sudah memiliki drone tanpa awak yang mampu melancarkan serangan di suatu wilayah. Oleh karena itu, sangat wajar jika kita harus khawatir terhadap perkembangan AI yang berpotensi menciptakan robot yang tidak patuh pada perintah manusia bahkan menyerang manusia.

Dan ini memungkinkan terjadi, terutama ketika Big Data, Internet of Things (IoT), serta algoritma terintegrasi dalam sistem komputasi yang kuat melalui jaringan saraf tiruan (neural networks), yang memungkinkan robot untuk belajar melalui pembelajaran mendalam (deep learning). Meminjam istilah al-Jazari, yaitu "automatos," yang artinya 'bertindak atas kehendak sendiri' atau 'bergerak secara mandiri' melalui robot humanoid pertama tahun 1206.

Apakah benar AI sedemikian menakutkan?

Pada 1 Mei 2023, New York Times melaporkan bahwa lebih dari 1.000 pemimpin teknologi, peneliti, dan pakar lainnya yang berkecimpung dalam bidang AI, telah menandatangani surat terbuka yang memberikan peringatan tentang risiko besar yang ditimbulkan oleh teknologi AI terhadap manusia.

Masuk akal jika kemampuan AI pada akhirnya akan melebihi kemampuan manusia dalam berbagai skenario pengambilan keputusan di dunia nyata.

The CITRIS Research Exchange dan Berkeley Artificial Intelligence Research Lab (BAIR) pada Rabu, 5 April 2023, lalu menyelenggarakan seminar bertajuk How Not To Destroy the World With AI di The Banatao Auditorium at Sutardja Dai Hall di kampus UC Berkeley, dan disiarkan secara langsung di saluran YouTube CITRIS.

Salah satu pembicara dalam seminar tersebut adalah Stuart Russell, seorang profesor ilmu komputer di University of California, Berkeley, dan anggota kehormatan Wadham College di University of Oxford.

Penulis buku Artificial Intelligence: A Modern Approach ini, memaparkan bahwa keberadaan AI tidak sepenuhnya berdampak negatif terhadap peradaban manusia.

Ia mencontohkan John McCarthy, salah satu pencetus istilah artificial intelligence pada tahun 1956, pernah mengatakan bahwa dia akan senang jika ada mobil yang bisa mengemudikan dirinya sendiri untuk mengantarkan orang ke Bandara San Francisco. Saat ini, cita-cita McCarthy tersebut telah menjadi kenyataan.

Meski demikian, Russell adalah salah satu dari 1.000 tokoh, seperti yang dilaporkan oleh NYT, yang menandatangani surat terbuka yang memperingatkan bahwa teknologi AI menghadirkan "risiko besar bagi masyarakat dan kemanusiaan."

Mereka mendesak laboratorium AI untuk menerapkan moratorium dan menghentikan pengembangan sistem mereka yang paling kuat selama enam bulan, sampai mereka dapat lebih memahami bahaya di balik teknologi tersebut.

Menurut Russell, AI memiliki potensi yang sangat besar dan dapat menghemat miliaran dolar, tetapi jika kita mengembangkan AI dengan model standar seperti yang dikembangkan oleh OpenAI dan Google dengan konsep artificial general intelligence (AGI), maka akhirnya kita akan kehilangan kendali atas mesin tersebut.

AI, secerdas apapun ia, hanya memiliki satu jenis kecerdasan, yaitu IQ (Intelligence Quotient) seperti yang disebutkan dalam namanya, Artificial Intelligence. AI belum memiliki EQ (Emotional Quotient) untuk mengukur kecerdasan emosional, dan juga belum ada SQ (Spiritual Quotient) yang terkait dengan kecerdasan spiritual.

"A machine can never know what it's like to hit your thumb with a hammer or what it's like to fall out of love with somebody, that's simply not available to them. And so we have that empathic advantage," kata Russell.

Meskipun seorang insinyur di Google bernama Blake Lemoine mengklaim bahwa LaMDA (Language Model for Dialogue Applications) yang dia ciptakan bersama rekan-rekannya kemungkinan memiliki perasaan, saya skeptis, dan Google sendiri telah membantah klaim tersebut.

Harapan Masih Ada

Dalam acara yang diselenggarakan oleh KORIKA bersama GDP Venture pada Rabu, 14 Juni 2023 lalu, CEO OpenAI sekaligus pencipta aplikasi ChatGPT, Sam Altman, memberikan pandangan tentang masa depan pendidikan melalui penerapan teknologi AI dan sistem bahasa alami (natural language systems).

Kunjungan CEO OpenAI Sam Altman dalam acara bertajuk Conversation with Sam Altman di Grand Ballroom Kempinski, Rabu (14/6/2023). Foto: Republika/Meiliza laveda

Menurut Altman, penerapan kecerdasan buatan dalam pendidikan bukanlah hal baru. Ia memberikan contoh perdebatan seputar penggunaan kalkulator dalam ujian matematika dan perdebatan mengenai kebutuhan untuk menghafal informasi setelah munculnya Google.

Nyatanya, kedua kecerdasan buatan tersebut tidak menggantikan peran guru matematika atau menghilangkan pekerjaan para dosen, meskipun sudah ada layanan Google Scholar.

Karena alasan itu, saya setuju dengan Altman bahwa sebaiknya kita merangkul teknologi alih-alih menentangnya, sambil tetap bijak dalam penggunaannya. Untuk mencegah dan mengatasi risiko-risiko terkait penggunaan AI, peran negara, ilmuwan komputer, dan masyarakat hingga perusahaan big tech sangat krusial.

Selain itu, menjelang pemilu, saya menemukan banyak calon kontestan yang menggunakan kecerdasan buatan untuk merancang strategi kampanye mereka di layar gawai dan media sosial saya.

Tindakan 1.000 pemimpin teknologi, peneliti, dan pakar lainnya yang berkecimpung dalam bidang AI, yang telah menandatangani surat terbuka untuk mendesak laboratorium AI menerapkan moratorium dan menghentikan pengembangan sistem mereka yang paling kuat selama enam bulan, merupakan langkah yang tepat.

Mengingat sifat lintas batas platform digital, situasinya mirip dengan energi nuklir yang perlu diatur dengan cermat melalui instrumen hukum internasional.

Perusahaan teknologi besar, korporasi yang mengembangkan AI, serta start-up, harus memastikan bahwa AI yang mereka ciptakan dapat diprediksi, dikendalikan, dan tidak menimbulkan risiko serta potensi tragedi kemanusiaan. Ini adalah langkah yang perlu diambil sebelum merilisnya ke publik.

Selanjutnya, peran pemerintah Indonesia sangat penting dalam merumuskan undang-undang dan regulasi terkait penerapan AI dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan, kesehatan, hukum, dan politik.

Namun, masyarakat juga harus aktif terlibat dan tidak hanya berpangku tangan. Kecerdasan buatan memiliki dampak dua sisi. Sehingga, perlu dilakukan edukasi digital yang lebih luas dan masif.

Sebagai contoh, fenomena viral beberapa waktu lalu tentang jual beli foto Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai non-fungible token (NFT) menunjukkan perlunya edukasi terkait digital, mengingat beberapa orang berharap untuk mendapatkan keuntungan seperti yang dilakukan oleh Ghozali Everyday [mhg].

sumber : https://retizen.id/posts/231334/masa-depan-kecerdasan-buatan-potensi-risiko-dan-peran-masyarakat
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke retizen@rol.republika.co.id.
Berita Terpopuler