MPR Usulkan Amendemen UUD, Pakar Hukum: Lakukan Setelah Pemilu 2024

Amendemen konstitusi idealnya tidak dilakukan oleh anggota MPR saat ini.

Dok Republika
Ahli hukum tata negara dan konstitusi asal Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid.
Rep: Rizky Suryarandika Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara dan konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, Fahri Bachmid menilai rencana amendemen konstitusi UUD Tahun 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bukan hal aneh. Fahri menyarankan amendemen konstitusi UUD lebih baik dilakukan setelah proses Pemilu 2024 rampung. 

Baca Juga


"Rencana amendemen konstitusi UUD Tahun 1945 adalah sesuatu yang normal dan lazim saja, tidak ada yang luar biasa. Itu seperti academic discourse yang harus dilihat secara objektif," kata Fahri dalam keterangannya pada Kamis (10/8/2023).

Fahri juga mendorong amandemen konstitusi tak dilakukan oleh anggota MPR yang menjabat saat ini. Kalau pun amendemen dilakukan maka mestinya dilakukan oleh anggota MPR hasil Pemilu 2024.

"Agar pandangan serta pikiran-pikiran konstitusionalisme benar-benar muncul tanpa ada agenda jangka pendek, serta pragmatis, amendemen harus ideal dengan memandang bahwa kebutuhan perubahan (amendemen) UUD 1945 bertujuan untuk bernegara dalam jangka waktu yang panjang," ujar Fahri.

Fahri mengamati urgensi amandemen konstitusi salah satunya karena persoalan besar yang belum ada jalan keluarnya dari konstitusi saat ini. Yaitu jika terjadi sebuah keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan negara terhenti misalnya karena adanya bencana alam, pandemi, pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan.

"Maka keadaan-keadaan demikian mungkin saja dapat diatasi oleh Presiden dan Wakil Presiden dengan menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD 1945," ujar Fahri.

Presiden dinilai Fahri masih dapat mengatasi hal tersebut. Namun bagaimana sekiranya apabila terjadi situasi dimana Presiden dan Wakil Presiden, berikut triumvirat (Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan) beserta jajaran yang lain lumpuh? Siapa yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut?

"Dengan demikian, saya berpendapat UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan jika situasi seperti itu benar-benar terjadi," ujar Fahri. 

Fahri menyebut salah satu materi amandemen kelima adalah terkait hal itu. Secara akademis, lembaga MPR yang diisi oleh anggota-anggota DPR dan DPD yang kesemuanya adalah produk pemilihan umum bisa sebagai wujud kedaulatan rakyat.

Atas dasar itu, sesuai amanat Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan serta kewajiban hukum untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi keadaan bahaya tersebut

"Itulah keniscayaan konstitusional yang dapat dilakukan dengan instrumen amendemen kelima UUD 1945," ucap Fahri.

Selain itu, Fahri berpendapat dalam melakukan amendemen terhadap UUD 1945 memang dibutuhkan sikap kehati-hatian tinggi. Sebab, materi perubahannya dapat membuka "kotak pandora" misalnya isu masa jabatan Presiden. 

"Yang paling esensial dalam amandemen ini terkait isu organ konstitusional seperti MPR diatribusikan dengan kewenangan mengatasi keadaan darurat negara; kemudian penguatan DPD RI serta perlu diadopsinya pengaturan terkait PPHN sebagai dokumen otoritatif arah berbangsa dan bernegara, selebihnya harus dibatasi secara tegas," ujar Fahri. 

Sebelumnya, MPR akan mengusulkan amendemen terbatas terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Amendemen terbatas tersebut bertujuan untuk memasukkan usulan penundaan pemilu (Pemilu) di masa darurat.

Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan usulan tersebut berkaca pada pandemi Covid-19 yang berdampak besar terhadap seluruh sektor di Indonesia. Apalagi, konstitusi saat ini belum mengatur penundaan pemilu pada masa-masa seperti itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler