Hadits yang Melarang Minuman Nabiz dan Penjelasannya
Nabiz, yaitu kurma atau kismis yang direndam dalam air sampai terasa manis.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdapat hadits shahih yang menjelaskan tentang nabidz. Hadits tersebut diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas RA dan tercantum dalam Shahih Muslim. Bunyi hadits lengkapnya seperti berikut ini:
سَأَلَ قَوْمٌ ابْنَ عَبَّاسٍ عن بَيْعِ الخَمْرِ وَشِرَائِهَا وَالتِّجَارَةِ فِيهَا، فَقالَ: أَمُسْلِمُونَ أَنْتُمْ؟ قالوا: نَعَمْ، قالَ: فإنَّه لا يَصْلُحُ بَيْعُهَا، وَلَا شِرَاؤُهَا، وَلَا التِّجَارَةُ فِيهَا، قالَ: فَسَأَلُوهُ عَنِ النَّبِيذِ، فَقالَ: خَرَجَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ في سَفَرٍ، ثُمَّ رَجَعَ وَقَدْ نَبَذَ نَاسٌ مِن أَصْحَابِهِ في حَنَاتِمَ وَنَقِيرٍ وَدُبَّاءٍ، فأمَرَ به فَأُهْرِيقَ، ثُمَّ أَمَرَ بسِقَاءٍ فَجُعِلَ فيه زَبِيبٌ وَمَاءٌ، فَجُعِلَ مِنَ اللَّيْلِ فأصْبَحَ، فَشَرِبَ منه يَومَهُ ذلكَ وَلَيْلَتَهُ المُسْتَقْبَلَةَ، وَمِنَ الغَدِ حتَّى أَمْسَى، فَشَرِبَ وَسَقَى، فَلَمَّا أَصْبَحَ أَمَرَ بما بَقِيَ منه فَأُهْرِيقَ.
Sekelompok orang bertanya kepada Abdullah bin Abbas RA tentang jual beli khamr dan memperdagangkannya. Lalu Ibn Abbas bertanya kepada para penanya soal apakah dia Muslim. Lalu dijawab iya.
Ibn Abbas pun berkata, "Sungguh itu (khamr) tidak pantas dijual, dibeli atau diperjualbelikan."
Lalu mereka bertanya lagi tentang nabidz. Kemudian Ibn Abbas menjelaskan, Rasulullah SAW pernah keluar untuk melakukan perjalanan, lalu beliau pulang. Saat itu, ada beberapa sahabat yang sedang membuat perasan (nabidz) di dalam Hanatim, Naqir dan Dubba.
Kemudian beliau SAW menyuruh mereka untuk menumpahkannya. Kemudian, Nabi SAW pernah membuat perasan dari buah anggur dan air, lalu membiarkannya sampai malam. Keesokan harinya beliau meminum perasan tersebut, lalu malam harinya, lalu keesokan harinya lagi dan lusa hingga waktu sampai sore. Jika di pagi harinya perasan tersebut masih tersisa, beliau SAW memerintahkan untuk menumpahkannya." (HR Muslim)
Dalam hadits itu disinggung soal nabiz, yaitu kurma atau kismis yang direndam dalam air sampai terasa manis.
Adapun Hanatim atau Al Hantam berarti wadah atau bejana yang terbuat dari tanah liat, rambut dan darah. Sebutan di masa itu adalah Al Jarroh yang berarti gentong atau gentong berwarna merah atau juga hijau. Atau juga tembikar yang dilapisi kaca atau benda lain untuk menyumbat pori-pori.
Al Naqir adalah sesuatu yang dipotong dari akar pohon kurma lalu dilubangi hingga menjadi seperti wadah. Sedangkan Al Dubba adalah sejenis labu.
Dari hadits tersebut, diketahui bahwa dilarang menggunakan sesuatu yang telah dikosongkan isinya untuk menjadi seperti wadah. Kemudian melakukan perendaman di wadah tersebut untuk mempercepat perubahan minuman yang ada di dalamnya untuk menjadi minuman yang memabukkan.
Kemudian Nabi SAW memerintahkan untuk segera menumpahkan minuman tersebut. Ini adalah bentuk larangan Nabi Muhammad SAW terhadap penggunaan peralatan-peralatan semacam itu.
Hadits lainnya ialah:
عن ابن عباس قال: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ينتبذ له أول الليل فيشربه إذا أصبح يومه ذلك والليلة التي تجيء والغد والليلة الأخرى والغد إلى العصر، فإن بقي شيء سقاه الخادم أو أمر به فصب.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, bahwa Rasulullah SAW dibuatkan perasan nabidz di awal malam, kemudian beliau meminumnya di pagi harinya, kemudian malam harinya, kemudian lusa dan malam harinya serta keesokan harinya lagi sampai menjelang ashar. Jika perasannya tersebut masih tersisa, beliau memberikannya kepada pembantu beliau atau menyuruhnya untuk menumpahkan." (HR Muslim)
Imam Nawawi dalam syarahnya terhadap hadits-hadits tersebut, menjelaskan, ada indikasi dibolehkannya meminum nabiz selama masih manis, belum ada perubahan dan belum berbuih. Ini dibolehkan menurut kesepakatan umat.
Setelah tiga hari, Nabi SAW pernah memberikan minuman tersebut kepada pelayannya, atau menyuruhnya untuk menumpahkannya. Artinya, ada perubahan pada minuman tersebut setelah tiga hari. Karena jika memabukkan maka menjadi haram dan najis, sehingga pelayan tersebut diminta untuk menumpahkannya agar tidak diminum. Karena hal yang memabukkan tidak boleh diminum oleh pelayan tersebut, sebagaimana memang tidak diperbolehkan meminumnya.
"Adapun Nabi SAW meminumnya sebelum tiga hari, di mana tidak ada perubahan, tidak ada prinsip yang berubah, dan tidak ada keraguan untuk itu," demikian penjelasan Imam Nawawi.