Kemerdekaan dan Maqashid as-Syariah   

Indonesia menyambut hari ulang tahun RI yang ke 78.

Antara/Irwansyah Putra
Penyelam dari Gainpala UIN Ar-Raniry bersama personel Basarnas Banda Aceh membentangkan bendera merah putih di laut ujung barat pulau Sumatera, Aceh Besar, Aceh, Rabu (16/8/2023). Pembentangan bendera merah putih yang juga melibatkan masyarakat, aparat TNI, Kesbangpol dan Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) itu dalam rangka memeriahkan HUT ke-78 Kemerdekaan Indonesia serta kampanye penyelamatan terumbu karang.
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Muhammad Hafil

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari ini, bangsa Indonesia menyambut hari ulang tahun RI yang ke 78 dengan riang dan penuh semangat. Beragam aktifitas dipersiapkan. Dari upacara bendera di hari H hingga berbagai perlombaan menjelang hari peringatan peristiwa terpenting bangsa ini. 

Baca Juga


Di tengah kegembiraan ini tentu ada baiknya kita semua kembali merenungi makna dan hakikat dari Kemerdekaan yang dirayakan. Hal ini menjadi penting agar perayaan itu tidak sekedar menjadi acara seremonial tahunan yang kurang bermakna

Imam Masjid New York Shamsi Ali mencoba menghubungkan  kemerdekaan dengan Maqashid As-Syari’ah atau hal-hal yang menjadi tujuan dari pelaksanaan Syariah atau hukum Islam. Dengan memahami Maqashid Syariah dengan sendirinya akan mengurangi stigma atau persepsi yang salah tentang Syariah itu sendiri.

"Diakui atau tidak, Syari’ah memang masih sering dipahami secara literal dan sempit, baik oleh sebagian Umat Islam sendiri maupun non Muslim. Akibatnya Syariah seringkali menjadi momok yang menakutkan bagi mereka yang mengaku Muslim,"ujar dia. 

Padahal jika saja kita paham secara benar dan baik, jauh dari tendensi prejudice dan kebencian, pastinya Syariah akan diapresiasi bahkan dibutuhkan bagi kehidupan manusia. Syariah akan menjadi pintu bagi terwujudnya nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti HAM, kebebasan, keadilan dan kebahagiaan. 

Bahwa Maqashid as-Syariah dan Kemerdekaan (Al-Istiqlal) merupakan dua entitas yang senyawa. Semua elemen atau ‘anasir Maqashid as-Syariah secara mendasar juga menjadi tujuan utama dari deklarasi kemerdekaan. Yang berbeda hanya pada kisaran teknis dan metode untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia.

Sebagaimana disepakati oleh para Ulama Islam, khususnya para ahli di bidang hukum Islam atau Syariah, ada lima tujuan utama (Maqashid) dari hukum Islam. Kelima tujuan ini yang lebih dikenal dengan istilah Maqashid as-Syariah. 

Kelima tujuan itu adalah: 

Hifzul hayaah (menjaga kehidupan) 

Hifzu ad-diin (menjaga agama) 

Hifzul ‘Irdh wa an-nasl (menjaga kehormatan dan keturunan)

Hifzul ‘aqal (menjaga akal) 

Hifzul maal (menjaga harta atau kepemilikan) 

Dalam perkembangan selanjutnya, ada kecenderungan untuk menambah satu lagi dari tujan Syariah. Yaitu Hifzu al-bii’ah atau menjaga lingkungan hidup. Secara umum Syariah juga bertujuan untuk menjaga bumi dan alam semesta. Karena hal ini adalah tugas utama manusia sebagai khalifa di atas bumi ini. 

Jika direnungi lebih jauh tentang makna  dan tujuannya akan didapati bahwa Maqashid as-Syariah di atas dan kemerdekaan keduanya pada hakikatnya semakna dan senyawa. Apalagi jika agama secara umum dan Syariah secara khusus dikaitkan dengan  tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga sangat wajar jika tujuan Kemerdekaan sesungguhnya memiliki ikatan yang kuat dengan Maqashid as-Syariah itu.

Merdeka itu hidup 

Maqashid as-Syariah adalah “hufzul hayaah” atau menjaga kehidupan. Sejatinya pada konteks ini esensi kemerdekaan merupakan  kehidupan itu sendiri. Orang yang tidak merdeka sesungguhnya secara esensi sedang mengalami kematian. Dan karenanya memperjuangkan Kemerdekaan itu adalah memperjuangkan lehidupan.

Dengan sendirinya dapat dipahami bahwa penjajahan sesungguhnya perampasan hak hidup. Itulah yang menjadikan Bilal bin Rabah merasa lebih nyaman dan kuat dengan “Laa ilaaha illa Allah”, bahka di saat-saat nyawanya sedang terancam.

Kemerdekaan yang dirayakan hendaknya memperbaharui semangat dan tekad kita  untuk membangun kehidupan yang bermartabat dan mulia. Tentu kehidupan yang bermartabat di segala lininya, baik secara ekonomi, politik, sosial budaya, dan bahkan pada aspek moral dan kemanusiaan.

Merdeka itu beragama 

Merujuk kepada pokok kedua dari Maqashid as-Syariah maka sejatinya merdeka itu tidak bisa dipisahkan dari agama atau keyakinan. Beragama itu adalah bahagian integral dari kehidupan manusia. Dalam agama dipahami bahwa manusia itu memiliki kefitrahan. Dan kefitrahan itulah agama (dzalika ad-diin Al-qayyim). 

Karenanya, Kemerdekaan yang dirayakan harus memberikan jaminan dan kebebasan dalam kehidupan beragama. Pengakuan kemerdekaan seraya memarjinalkan agama dan pemeluknya akan menjadikan kemerdekaan seolah pengakuan palsu.

Syariah hadir untuk menjaga agama (hifzud diin). Maka wujud Kemerdekaan hadir untuk memberikan jaminan dalam kehidupan beragama bagi semua warga negara. 

Merdeka itu menjaga keturunan 

Poin ketiga dari Maqashid as-Syariah adalah hifzun ‘irdh qan nasal (menjaga kehormatan dan keturunan). Pada aspek ini disyariatkan pernikahan dan diharamkannya perzinahan. Dengan demikian kemerdekaan bangsa harus memastikan penegakan hukum demi menjaga karakter dan moralitas bangsa.

Selain memastikan terjaganya karakter dan moralitas anak-anak bangsa, kemerdekaan juga hendaknya dimaknai sebagai terwujudnya jaminan masa depan generasi. Jaminan yang dimaksud tentu mencakup semua hal, termasuk jaminan pendidikan dan kemakmuran yang berkeadilan. 

Merdeka itu memuliakan akal 

Tujuannya keempat dari Maqashid as-Syariah adalah menjaga akal. Tentu kata akal (aql) di sini bermakna luas. Termasuk di dalamnya pemikiran, ilmu, bahkan opini atau pendapat. Maka pada kaitan ini Kemerdekaan itu harus menghadirkan jaminan untuk berkembangnya kecendikiawan dan intelektualitas manusia.

Kemerdekaan bahkan lebih jauh harus menjamin kebebasan berpikir dan mengekspresikan opini dan pikiran. Dengan jaminan kebebasan ini akan dipastikan jika nilai-nilai demokrasi dapat berkembang dan dijunjung tinggi oleh semuanya.

Merdeka itu menjamin kepemilikan

Tujuan kelima dari Maqashid as-Syariah adalah menjaga harta. Saya lebih cenderung menyebutnya hak kepemilikan. Dalam Syariah mencuri itu diharamkan, bisnis dimotivasi, dan riba diharamkan. Semua ini menjadi jaminan bagi semua untuk memiliki. 

Kemerdekaan harus membangun rasa kepemilikan. Jangan sampai kemerdekaan telah dideklarasikan tapi masyarakat tidak memiliki peluang untuk memiliki. Termasuk memiliki ragam kekayaan negeri yang maha luas. 

Menjaga lingkungan hidup 

Tujuan keenam dari Syariah yang akhir-akhir ini banyak didiskusikan adalah Hifzu al-Bi’ah atau menjaga lingkungan hidup. Isu lingkungan hidup ini menjadi isu global yang sangat serius. Karenanya agama mengambilnya secar sangat serius pula.

Tugas pertama manusia dalam kerangka pengabdiannya kepada sang Pencipta adalah fungsi kekhilafahan. Yaitu menjadi agen samawi dalam menjaga dan membangun bumi ini. Karenanya isu lingkungan menjadi sangat krusial dan maha penting. 

Kemerdekaan juga harusnya menjadi momentum untuk sadar tanggung jawab lingkungan. Dengan kemerdekaan negara harus memastikan bahwa proses pembangunan tidak boleh mengesampingkan keselamatan bumi. Jangan sampai upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi justeru menghancurkan lingkungan hidup. Karena hal itu sekaligus mengancam kehidupan (tujuan pertama Syariah) dan generasi (tujuan ketiga Syariah). 

Demikian makna Kemerdekaan dari perspektif Maqashid as-Syariah. Semoga catatan ini dapat mengurangi tendensi alergi dan phobia Syariah. Dan semoga kita semakin tersadarkan bahwa Syariah hadir untuk mewujudkan Maqashid yang sejalan dengan tujuan Kemerdekaan itu. 

Saya akhiri dengan mengingatkan kita semua sekali lagi, bahwa esensi dasar Kemerdekaan itu dalam perspektif Islam adalah “Laa ilaaha illa Allah”. 

Jangan lagi ada upaya pemisahan, bahkan pembentutan keduanya. Karena bagi bangsa Indonesia dan umat Islam khususnya, keagamaan dan kebangsaan adalah dua entitas komitmen yang saling mengikat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler