Perang Paling Sengit dan Berdarah dalam Kehidupan Nabi Muhammad

Perang ini disebabkan karena dibunuhnya utusan Rasulullah oleh pejabat negeri Syam.

MgIt03
Ilustrasi Sahabat Nabi
Rep: Rossi Handayani Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang Mu'tah merupakan peperangan paling sengit dan berdarah dalam kehidupan Rasulullah ﷺ. Perang ini adalah sebagai muqadimah ditaklukkannya negeri-negeri Kristen.

Mu'tah adalah nama sebuah negeri di Syam, berjarak sekitar 80 kilometer dari Masjidil-Aqsha.  Seperti dikutip dari buku Sejarah Hidup dan Perjuangan Rasulullah, perang ini disebabkan karena dibunuhnya utusan Rasulullah ﷺ yang dikirim untuk menyampaikan surat dakwah dari Rasulullah ﷺ oleh pejabat raja Qaishar di Balqa' negeri Syam.

Tindakan tersebut bagi Rasulullah ﷺ tak lebih sebagai pengumuman perang. Maka, beliau menyiapkan tentaranya sebanyak 3.000 prajurit, belum pernah sebelumnya terkumpul jumlah sebanyak itu, kecuali pada perang Ahzab.

Baca Juga



Pada perang ini Rasulullah ﷺ memberikan tugas komando kepada Zaid bin Haritsah radhiyallahuanhu, beliau berpesan kepadanya:

“Jika Zaid terbunuh, (komando) pindah ke Ja'far, dan jika Ja'far terbunuh, pindahkan ke Abdullah bin Rawahah”.

Rasulullah ﷺ pun berpesan kepada Zaid untuk mendakwahkan mereka kepada Islam. Jika mereka menerimanya, maka terimalah. Sedangkan jika tidak, mintalah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. Beliaupun berpesan:

“Perangilah siapa yang kufur kepada Allah dengan Nama-Nya dan di jalan-Nya. Jangan berkhianat, jangan bunuh anak kecil, kaum wanita dan orang tua renta, dan mereka yang beribadah di tempat ibadahnya. Jangan tebang pohon-pohon dan jangan robohkan bangunan”.

Kemudian berangkatlah pasukan mujahid tersebut...

Kemudian berangkatlah pasukan mujahid tersebut, diantar penduduk Madinah hingga ke tepi kota.

Di tengah perjalanan, sampailah berita intelijen kepada pasukan kaum Muslimin bahwa Raja Heraklius telah menyiapkan 100 ribu pasukan Romawi di Balqa' dan ditambah lagi seratus ribu dari suku-suku sekitarnya. Sehingga keseluruhannya berjumlah 200 ribu pasukan.

Jumlah raksasa dari pasukan musuh tersebut, sama sekali tidak diduga oleh pasukan kaum muslimin. Kebimbangan melanda mereka, apakah pasukan yang hanya berjumlah 3.000 orang mampu menghalau badai serangan pasukan berjumlah 200 ribu orang.

Maka di Ma'an (nama sebuah daerah), mereka menggelar musyawarah untuk menentukan sikap menghadapi kondisi tersebut. Pada awalnya mereka berencana mengirim surat kepada Rasulullah ﷺ memberitahukan jumlah pasukan musuh agar dikirimkan pasukan tambahan atau beliau memerintahkan sesuatu yang lain.

Namun Abdullah bin Rawahah menentang rencana tersebut, seraya berkata:

“Wahai kaumku, sesungguhnya yang kalian khawatirkan ini, justru itulah yang kalian cari (mati syahid). Dan kita tidak berperang dengan jumlah dan kekuatan kita, tetapi kita berperang dengan agama ini yang karenanya Allah memuliakan kita. Berangkatlah, sesungguhnya pilihan kita hanyalah salah satu dari dua kebaikan, kemenangan atau mati syahid”.

Akhirnya pasukan kaum muslimin sepakat atas kesimpulan Abdullah bin Rawahah.

Maka, berangkatlah pasukan kaum muslimin...

Maka, berangkatlah pasukan kaum muslimin ke negeri musuh. Setelah tiba di sana mereka bermarkas di sebuah tempat bernama Mu'tah dan mempersiapkan pertempuran. Sayap kanan dipimpin Qutbah bin Qatadah al-Udzri dan sayap kiri dipimpin oleh Ubadah bin Malik al Anshari.

Di sanalah pertempuran antara kedua pasukan berkecamuk. Sebanyak 3.000 pasukan melawan 200 ribu pasukan. Peperangan yang sulit dipahami dan dicerna kecuali dengan bahasa keimanan.

Peperanganpun berkecamuk. Panglima perang Zaid bin Haritsah, seraya memegang bendera, berperang dengan gagah berani yang sulit dicari tandingannya, namun akhirnya dia tersungkur terkena panah musuh. Seketika itu juga, bendera diambil oleh Ja'far bin Abi Thalib, diapun berperang dengan perkasa.

Di tengah peperangan, tangan kanannya terputus disabet pedang musuh, maka bendera tersebut digenggam oleh tangan kirinya, kemudian tangan kirinya pun putus disabet pedang musuh, maka bendera tersebut didekap oleh kedua lengannya, begitulah seterusnya dipegangnya bendera tersebut hingga akhirnya dia pun terbunuh.

Dikisahkan bahwa seorang Romawi menebas tubuhnya hingga terbelah dua. Namun, Allah segera membalasnya dengan menggantikan kedua tangannya yang terputus dengan kedua sayap dari surga yang dengannya dia terbang sesukanya. Karena itu, beliau dijuluki sebagai Ja'far at-Thayyar (Penerbang).

Diriwayatkan oleh Ibnu Umar ketika melihat tubuh Ja'far yang terbunuh bahwa dia menghitung lebih dari lima puluh tusukan di tubuh Ja'far, tidak ada yang tersisa di bagian belakang tubuhnya.

Setelah itu bendera diambil alih oleh Abdullah bin Rawahah. Beliaupun dengan gagah berani menerobos ke tengah pasukan musuh. Awalnya dia agak ragu dan menyingkir sesaat. Lalu dia bersyair:

Aku bersumpah wahai jiwaku...

Aku bersumpah wahai jiwaku, engkau harus turun ke medan perang

Suka ataupun tidak suka

Jika pasukan sudah menyerang dan pedang sudah berdenting

Mengapa ku lihat engkau enggan terhadap syurga?

Kemudian datanglah anak pamannya membawakannya sepotong daging untuk dia makan sebagai penguat tubuhnya. Dia ambil daging tersebut, lalu dia gigit sekali kemudian dia buang, lalu dia ambil pedangnya dan masuk ke medan perang hingga akhirnya dia gugur.

Setelah syahidnya Abdullah bin Rawahah, seorang sahabat, bernama Tsabit bin Arqam mengambil bendera tersebut, lalu meminta kaum muslimin untuk bersepakat memilih panglima perangnya. Akhirnya pilihan jatuh kepada Khalid bin Walid.

Kecerdikan Khalid bin Walid

Saat itu Khalid bin Walid telah menghabiskan sembilan pedangnya yang patah selama pertempuran, kini di tangannya tinggal sebilah pedang berasal dari Yaman.

Rasulullah ﷺ pada saat itu berdasarkan petunjuk wahyu berkata:

“Zaid membawa bendera, namun dia terbunuh, kemudian bendera diambil Ja'far, diapun terbunuh, lalu Ibnu Rawahah, diapun terbunuh -seraya air matanya bercucuran-, akhirnya bendera diambil oleh pedang Allah, hingga Allah menyelamatkan mereka”.

Walaupun dengan keberanian luar biasa...

Walaupun dengan keberanian luar biasa yang ditampilkan kaum muslimin dalam perang tersebut, namun kecil sekali kemungkinan pasukan yang sedikit tersebut dapat menghalau gelombang raksasa dari pasukan Romawi. Di sinilah Khalid bin Walid menampakkan kecerdikannya sebagai panglima perang.

Pada awalnya Khalid bin Walid berhasil memimpin pasukannya bertahan menghadapi musuh. Namun, akhirnya beliau merasa perlu melakukan tipu muslihat yang dapat menakutkan pasukan Romawi hingga kaum muslimin dapat mundur tanpa dikejar-kejar mereka.

Pada hari kedua, beliau mengubah posisi pasukan dengan susunan yang baru. Barisan pertama kini dijadikan sebagai barisan belakang, pasukan sayap kanan dijadikan sayap kiri dan sebaliknya, pasukan sayap kiri dijadikan sayap kanan.

Ketika posisi tersebut dilihat pasukan musuh, mereka merasa ada yang aneh dengan pasukan lawan, lalu merekapun beranggapan bantuan bagi pasukan kaum muslimin telah datang sehingga mereka ketakutan. Maka, setelah sedikit melakukan manuver militer Khalid bin Walid menarik pasukan kaum muslimin sedikit demi sedikit dengan tetap menjaga barisan pasukannya.

Pasukan Romawi tidak berani mengejar mereka karena khawatir hal tersebut hanya jebakan kaum muslimin. Dengan demikian, berhasillah kaum muslimin menghindar dari pertempuran dengan selamat dan kemudian mereka kembali ke Madinah.

Pada perang tersebut pasukan kaum muslimin yang terbunuh sebanyak 12 orang, Sedangkan pasukan Romawi tidak dapat diketahui jumlahnya dengan pasti karena banyaknya pasukan mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler