Politik Kekerabatan: Hary Tanoe, Istrinya, dan Lima Anaknya Jadi Caleg Perindo
Kata Lucius, fenomena politik kekerabatan di tubuh Perindo merusak kaderisasi partai.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fenomena politik kekerabatan kembali tersingkap wujudnya. Kini, tujuh orang dari satu keluarga konglomerat Indonesia menjadi bakal calon anggota legislatif (caleg) DPR RI Pemilu 2024 lewat satu partai politik.
Mereka adalah keluarga dari pengusaha sekaligus Ketua Umum DPP Partai Persatuan Indonesia (Perindo), Hary Tanoesoedibjo. Selain Hary, ada istrinya dan kelima anaknya yang menjadi bakal caleg DPR RI dari Perindo. Mereka semua mendapatkan nomor urut teratas, sesuatu yang penting untuk memperbesar peluang kemenangan.
Keikutsertaan satu keluarga itu dalam pertarungan memperebutkan kursi anggota dewan terungkap usai KPU RI mengumumkan Daftar Calon Sementara (DCS) Anggota DPR RI pada Sabtu (19/8/2023). Dalam dokumen tersebut, terdapat 9.919 nama bakal caleg yang diusung 18 partai politik untuk bertarung di 84 daerah pemilihan (dapil).
Setelah Republika.co.id memeriksa berkas tersebut, nama Hary Tanoe tercatat sebagai bakal caleg Partai Perindo untuk Dapil Banten III. Dia mendapatkan urut satu di antara bakal caleg Perindo lainnya di dapil tersebut.
Sedangkan istrinya Hary, Liliyana Tanaja Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg Partai Perindo untuk berlaga di Dapil Jakarta II. Dia mendapatkan nomor urut satu.
Lalu, anak pertama Hary, Angela H Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg dari Partai Perindo untuk Dapil Jawa Timur I. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif itu mendapatkan nomor urut satu.
Anak keduanya, Valencia H Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg dari partai milik bapaknya itu di Dapil Jakarta III, dengan nomor urut satu. Anak ketiganya, Jessica Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg di Dapil NTT II, dengan nomor urut satu.
Anak keempatnya, Clarissa Tanoesoedibjo tercatat sebagai bakal caleg Perindo untuk Dapil Jawa Barat I, dengan nomor urut dua. Adapun anak bungsunya, Warren Tanoesoedibjo terdaftar sebagai bakal caleg Perindo di Dapil Jawa Tengah I, dengan nomor urut dua.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, fenomena satu keluarga menjadi bakal caleg dari satu partai yang sama ini merupakan bentuk politik kekerabatan. Fenomena ini disebut merusak demokrasi dari banyak sisi.
"Jaringan politik kekerabatan ini sulit diketahui oleh masyarakat, padahal itu dampaknya buruk, merusak demokrasi kita," kata Peneliti Formappi, Lucius Karus ketika dihubungi Republika.co.id dari Jakarta, Senin (21/8/2023).
Lucius menjelaskan, fenomena politik kekerabatan di tubuh Perindo itu merusak proses kaderisasi partai. Kader-kader potensial yang sudah mengikuti tahapan kaderisasi, bahkan mungkin pencalonan, tentu terhalang langkahnya menjadi caleg karena harus mengalah dengan keluarga ketumnya.
Kalau pun bisa menjadi caleg, sambung dia, para kader tetap saja harus merelakan nomor urut kecil apabila terdaftar di dapil yang sama dengan keluarga bos partai. Lucius menyebut, umumnya caleg kekerabatan ini menjadi caleg dengan menempuh jalan pintas, yakni mengandalkan kedekatan dengan elite partai.
"Mereka biasanya mendaftar di hari terakhir pendaftaran dan tidak mengikuti tahapan kaderisasi seperti anggota partai lainnya," kata Lucius.
Merusak kaderisasi partai...
Selain merusak kaderisasi partai, kata dia, fenomena politik kekerabatan ini juga akan membuka peluang terjadinya praktik korupsi apabila mereka terpilih sebagai anggota dewan. Menurutnya, elite partai lebih muda mengontrol anggota dewan yang merupakan keluarganya saat hendak melakukan praktik culas berjamaah.
"Elite Partai cenderung merekrut keluarganya, kerabatnya menjadi caleg, ya untuk kepentingan itu. Agar jangkauan informasi terkait dengan praktik-praktik menyimpang yang mereka lakukan bisa dikendalikan," ujar Lucius.
Menurut dia, politik kekerabatan atau politik dinasti ini terjadi karena regulasi pemilu memang tidak melarang hal tersebut. Praktik tersebut semakin subur akibat adanya 'oligarki partai' alias segelintir orang yang punya kuasa penuh menentukan kebijakan partai.
"Jadi saya kira (fenomena politik kekerabatan ini) berbanding lurus dengan faktor partai politik kita yang masih dikuasai oligarki. Jadi politik dinasti itu sudah menjadi satu hal yang tak terelakkan," kata Lucius.
Perindo dipimpin oleh Hary Tanoesoedibjo sejak partai tersebut didirikan pada 2014. Pemilu 2019 merupakan pertama kalinya Perindo ikut kontestasi politik elektoral. Namun, raihan suara partai tersebut ketika itu tak mencapai ambang batas parlemen (empat persen suara nasional). Mereka akan kembali berupaya masuk ke parlemen lewat Pemilu 2024.