Perlukah Satu Lagi Bank Syariah Besar di Indonesia?
Brand image perbankan syariah Indonesia sangat bergantung pada BSI.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr. Imam Teguh Saptono (Pegiat Ekonomi dan Keuangan Syariah) dan Kindy Miftah (Chief Strategy Young Islamic Bankers)
Perkembangan perbankan syariah di Indonesia yang telah berjalan selama lebih dari tiga dekade sejak 1992 dianggap banyak pihak masih tumbuh jauh di bawah potensinya. Meskipun aset perbankan syariah (BUS dan UUS) telah mencapai Rp 785 triliun per Mei 2023 atau hampir mencapai Rp 800 triliun, tetapi jika dilihat dari marketshare angkanya hanya tumbuh 2,3 persen selama 10 tahun dari 4,9 persen pada 2013 menjadi 7,2 persen pada Mei 2023. Angka marketshare ini pun sudah dibantu oleh konversi 3 BPD dan adanya implementasi Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Aceh.
Jika dibandingkan secara global, meskipun masuk ke dalam 10 besar negara utama, aset maupun market share perbankan syariah di Indonesia jauh di bawah negara utama lainnya, termasuk Malaysia. Per Mei 2023, aset perbankan syariah di Malaysia sudah mencapai sekitar Rp 3.500 triliun (4,5 kali lebih besar dari Indonesia), di mana market share naik 18 persen selama 10 tahun dari 28 persen pada 2013 menjadi 46 persen pada Mei 2023.
Di level bank, aset bank syariah terbesar di Arab Saudi (Al Rajhi) mencapai Rp 2.900 triliun, sedangkan di Malaysia (Maybank Islamic) mencapai Rp 940 triliun, atau berkali lipat lebih besar dari aset bank syariah terbesar di Indonesia (BSI) yang sebesar Rp 305 triliun pada 2022. Situasi ini tentu harus diakui sebagai ketertinggalan industri perbankan syariah Indonesia, yang juga mewakili ketertinggalan industri keuangan syariah di Indonesia secara umum.
Dampak Merger BSI
Adanya merger Bank Syariah Indonesia (BSI) di tahun 2021 yang digadang menjadi momentum akselerasi ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia, nyatanya belum memberikan dampak sesuai yang diharapkan. Pertama, merger BSI tidak menambah aset maupun meningkatkan market share perbankan syariah, karena yang terjadi hanya penggabungan aset sesama bank syariah.
Kedua, dampak skala ekonomi dari terwujudnya bank dengan aset yang lebih besar, terhadap pertumbuhan industri perbankan syariah perlu dikaji lebih mendalam. Apakah skala aset tersebut mengakselerasi tingkat pertumbuhan industri, atau justru malah memperlambat.
Secara teori, semakin besar aset maka semakin kecil tingkat (persentase) pertumbuhannya. Berdasarkan proyeksi yang penulis buat, dengan basis tingkat pertumbuhan masing-masing bank 3 tahun terakhir sebelum merger, aset agregat ketiga bank seharusnya mencapai Rp 323 triliun, atau Rp 18 triliun lebih besar dari aset BSI di akhir tahun 2022.
Ketiga, perlu juga dikaji apakah merger dan juga kejadian system down BSI menciptakan crowding-out effect. Dengan adanya merger, maka adalah alamiah jika BSI merampingkan jumlah jaringan dan SDM-nya, agar tetap produktif dan efisien.
Namun, kondisi ini justru berpotensi membuat keluarnya nasabah/segmen yang selama ini sudah terlayani dengan baik oleh bank anggota merger. Misal, perusahaan, yayasan atau masjid yang sebelum merger menjadi nasabah karena faktor kedekatan layanan dengan kantor cabang, mereka berpotensi pindah ke bank lain termasuk ke bank konvensional ketika cabang tersebut ditutup.
Kondisi crowding-out ini sudah nyata terjadi pada segmen nasabah jamaah Salafi (baik bisnis dan individu) yang sebelumnya mendapat pelayanan secara customized dari BNI Syariah. Selera bisnis (appetite) BSI yang cenderung menahan ekspansi pembiayaan segmen SME (UMKM) juga sangat mempengaruhi portfolio SME yang sebelumnya terbangun dengan baik di BRI Syariah. Crowding-out juga terjadi dari sisi jangkauan layanan, di mana layanan perbankan syariah yang sebelumnya bisa dijangkau melalui jaringan cabang BNI se-Indonesia menjadi hilang.
Selain itu, kejadian system down BSI yang berlangsung selama empat hari juga menjadi preseden buruk di industri perbankan, terlebih lagi bagi reputasi dunia ekonomi dan keuangan syariah di Indonesia. Masyarakat Aceh bahkan sampai ingin merevisi Qanun LKS, padahal seharusnya menjadi percontohan bagi wilayah lainnya. Hal ini tentu kontra produktif dengan ekspektasi besar dari adanya merger.
Keempat, porsi BSI yang menguasai hampir 40 persen dari aset industri perbankan syariah membuat struktur industri perbankan syariah menjadi kurang dinamis. Adapun empat bank syariah terbesar menguasai lebih dari 61 persen aset industri, dengan perhitungan Herfindahl-Hirschman Index (HHI) menunjukkan angka 0,36 yang artinya industri sangat terkonsentrasi. Akibatnya, room yang tersisa untuk bank syariah lainnya hanya sedikit.
Sebagai perbandingan, empat bank umum terbesar hanya menguasai 50 persen dari aset industri perbankan nasional. Dengan kondisi ini wajar jika positioning, reputasi dan brand image perbankan syariah Indonesia sangat bergantung pada BSI.
Perlu Bank Besar Lainnya
Dengan segala kondisi di atas, Indonesia membutuhkan satu lagi bank syariah dengan aset yang besar, setidaknya lebih dari Rp 100 triliun. Ini penting agar dinamika dan struktur industri perbankan syariah menjadi lebih sehat, sebagaimana belasan tahun yang lalu saat BSM dan Bank Muamalat menjadi dua bank terbesar yang sama-sama mewarnai dan merepresentasikan industri keuangan syariah secara berimbang.
Pertanyaannya kemudian, apakah hal tersebut mungkin terwujud?
Pada dasarnya, tidak ada yang dapat menjawab pertanyaan ini dengan memuaskan. Kita hanya dapat memprediksi peluang terjadinya. Pertama, skenario yang sepertinya sudah usang namun baik jika dibangkitkan kembali ialah konversi Bank BTN menjadi bank syariah. Skenario ini adalah yang paling ideal karena selain akan menambah aset dan market share perbankan syariah, aset BTN lebih besar dari BSI sehingga akan sangat mampu mengimbangi dominasi BSI.
Kedua, konsolidasi perbankan syariah melalui Bank Muamalat sebagai anchor. Dengan kondisi yang mulai turn around dan posisi aset lebih dari Rp 60 triliun, muncul harapan agar BPKH atau strategic investor mampu melakukan akuisisi bank lain atau bank syariah lain untuk dilebur ke dalam Bank Muamalat. Bagaimana pun, pondasi bisnis, basis nasabah, brand value dan jaringan Bank Muamalat masih sangat kuat, sehingga menjadi modal untuk melesat ke posisi yang lebih tinggi.
Ketiga, konsolidasi lintas batas antara BUMN, swasta dan BPD dimana BTN Syariah menjadi anchor. Dengan kewajiban spin-off yang sudah di depan mata, alangkah sayangnya jika spin-off BTN Syariah tidak dilakukan secara lebih strategis dan konsolidatif. Melalui induknya, Bank BTN dapat mengakuisisi Bank Umum Syariah (BUS) swasta dan juga beberapa UUS BPD yang membutuhkan strategic investor, agar dalam waktu segera bank hasil spin-off bisa memiliki aset di atas Rp 100 triliun.
Selain perlunya kehadiran dari sisi aset yang besar, terlebih penting lagi ialah bagaimana bank tersebut tetap berupaya optimal untuk memberikan pelayanan yang terbaik, meski asetnya sudah besar. Produk yang dimiliki juga menunjukkan keunikan syariah, selain mengutamakan benefit bagi nasabah.
Ditambah dengan jangkauan layanan yang lebih luas melalui sinergi dengan jaringan kantor dan SDM bank induk, serta infrastruktur IT dan manajemen risiko yang jauh lebih andal agar tidak lagi terjadi risiko yang merugikan nama baik industri keuangan syariah. Lebih jauh lagi, bank syariah besar ini harus lebih inklusif untuk menampung lebih banyak talenta dari dalam dan luar negeri, karena bagaimana pun cita-cita menjadi bank global harus juga diiringi dengan strategi model bisnis domestik dan keberadaan SDM-SDM yang juga berwawasan global.