Menteri PPPA Minta KPU Jalankan Putusan MA Soal Keterwakilan Perempuan di Legislatif
Keterwakilan perempuan di DPR belum mencapai angka 30 persen tiga periode terakhir.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Bintang Puspayoga mendorong Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) mengenai keterwakilan perempuan di legislatif.
MA baru saja mengabulkan uji materiil terhadap Peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota. Sebab peraturan tersebut berpotensi menurunkan angka keterwakilan perempuan di parlemen.
"Ini menunjukkan kita punya semangat yang sama mewujudkan pembangunan bangsa yang inklusif dan berkeadilan gender melalui keterwakilan para perempuan," kata Bintang dalam keterangan pers pada Kamis (31/8/2023).
Bintang menekankan keterwakilan perempuan di ranah publik hingga saat ini masih patut diperjuangkan bersama. "KemenPPPA juga mendorong KPU untuk segera menindaklanjuti keputusan MA tersebut," ujar Bintang.
Dalam Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 disebutkan, daftar bakal calon legislatif harus memuat keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di setiap daerah pemilihan (dapil). Namun, apabila penghitungan 30 persen dari jumlah bakal calon menghasilkan angka pecahan dan dua desimal di belakang koma kurang dari angka 50, maka pembulatan dilakukan ke bawah.
Dalam gugatan yang dilayangkan oleh beberapa kelompok perempuan, pembulatan harus tetap dilakukan ke atas, meskipun angka dua desimal di belakang koma bernilai kurang atau lebih dari 50.
"Ini menjadi keprihatinan KemenPPPA karena hingga saat ini Indeks Pemberdayaan Gender (IPG) Indonesia yang salah satu variabelnya adalah keterwakilan perempuan masih lebih rendah dibandingkan negara-negara ASEAN dan G20 lainnya," ujar Bintang.
Bintang menekankan peningkatan keterwakilan perempuan memegang peranan penting dalam memperbaiki postur Indeks Ketimpangan Gender dan Global Gender Gap Index Indonesia. Salah satunya melalui tindakan afirmasi angka minimal keterwakilan perempuan yang termuat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
"Diterbitkannya kebijakan yang berpotensi sebaliknya, akan rawan mendapat sorotan internasional dan mempengaruhi kepercayaan internasional terhadap Indonesia," ujar Bintang.
Tercatat, dalam tiga periode terakhir, keterwakilan perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum mencapai angka 30 persen. Bahkan, dari 34 provinsi yang menyelenggarakan pemilihan pada 2019 lalu, hanya satu provinsi yang mencapai angka minimal tersebut.
Keterwakilan perempuan dinilai berhasil melahirkan berbagai peraturan perundang-undangan yang berpihak pada perempuan, anak, dan kelompok rentan seperti UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga direvisinya UU Perkawinan.