Israel Bantu Negara Lain Memata-matai Warganya

Pakistan jadi pelanggannya dan kini India diduga membeli alat pengawasan Israel

AP/Sebastian Scheiner
FILE - Sebuah logo menghiasi dinding di cabang perusahaan Israel NSO Group, dekat kota Sapir, Israel selatan, 24 Agustus 2021. Ponsel enam aktivis hak asasi manusia Palestina terinfeksi spyware dari peretas Israel yang terkenal kejam. -menyewa perusahaan NSO Group pada awal Juli 2020.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM -- Israel dituduh membantu berbagai negara untuk melakukan pengawasan terhadap warganya sendiri.  Pakistan adalah salah satu pelanggannya, dan kini Pemerintah India diduga membeli alat pengawasan dari Israel.
 
Menurut Financial Times, pemerintah India membeli alat pengawasan canggih dari perusahaan teknologi Israel seperti Cognyte dan Septier. Alat ini digunakan untuk memantau jejak digital dan aktivitas warga India. Produk Septier mampu mengekstraksi pesan suara, penjelajahan web, dan email dari target mereka. Sistem pengawasan tampaknya telah diterapkan di stasiun pendaratan kabel bawah laut, sehingga memungkinkan badan keamanan India memantau data pribadi dan komunikasi terhadal 1,4 miliar warganya.
 
Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi pada 2019 dan 2021 dituduh menggunakan spyware Pegasus Israel yang dikembangkan oleh NSO Group.  Berbagai politisi oposisi, jurnalis, dan aktivis mengecam pemerintah karena menyadap email, panggilan, dan pesan teks mereka menggunakan spyware ini.
 
Dilaporkan Middle East Monitor, Senin (4/9/2023), Pegasus dikembangkan dengan dana sebesar 1,6 juta dolar AS yang diberikan oleh Unit intelijen 8200 Angkatan Pertahanan Israel. Pegasus terkenal karena kemampuan pengawasannya yang efektif dan kontroversial. Pegasus telah terlibat dalam kasus-kasus penting yang menargetkan jurnalis, aktivis, dan pembangkang.  Penggunaan teknologi tersebut untuk tujuan pengawasan menimbulkan ancaman besar terhadap kebebasan berpendapat dan perlindungan hak asasi manusia.
 
Dengan spyware seperti Pegasus, perusahaan keamanan siber Israel mendapatkan reputasi yang meragukan di sektor pengawasan serta dalam isu-isu lain seperti kebebasan berbicara.  Bulan lalu, Haaretz melaporkan, badan intelijen Pakistan juga menggunakan perangkat Israel untuk melacak warga, termasuk Badan Investigasi Federal (FIA).
 
Perusahaan teknologi Israel, Cellebrite diduga menyediakan perangkat bernama UFED ke Pakistan. Perangkat ini memungkinkan polisi dan FIA mengakses dan mengumpulkan data.  Perangkat ini cukup canggih untuk meretas informasi seperti gambar, dokumen, pesan teks, catatan panggilan, dan kontak yang disimpan di perangkat yang dilindungi kata sandi.  
 
Sungguh ironis bahwa negara seperti Pakistan, yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, justru menjadi pelanggan negara pendudukan dan perusahaan-perusahaannya.  Situasi serupa juga terjadi di Bangladesh.
 
Impor Israel dilarang di Bangladesh. Namun sistem pengawasan Israel justru digunakan di Bangladesh. Pada Juni 2022, sistem SpearHead yang dibuat oleh Passitora, yang dimiliki oleh mantan komandan IDF, diekspor ke Bangladesh.  Pada 2021, Picsix yaitu perusahaan yang didirikan oleh mantan pakar intelijen Israel, menjual peralatan yang mampu memantau ponsel ke Bangladesh.
 
Arab Saudi juga merupakan pelanggan utama Israel.  Setelah membeli Pegasus dari NSO pada 2018, Riyadh membeli Riegn dari perusahaan Israel Quadream pada Juni 2021. Pegasus dilaporkan digunakan untuk memata-matai jurnalis Saudi, Jamal Khashoggi sebelum pembunuhannya.  Banyak jurnalis Aljazirah yang mengklaim bahwa perangkat lunak tersebut digunakan untuk meretas ponsel mereka. Pegasus juga dibeli oleh pemerintah UEA.
 
Keterlibatan Israel dalam penjualan teknologi pengawasan ke negara lain sangat kompleks dan kontroversial....

Baca Juga


Dalam pembelaannya, perusahaan-perusahaan sistem pengawasan tersebut mengatakan, produk mereka dijual kepada pemerintah untuk memerangi terorisme. Keterlibatan Israel dalam penjualan teknologi pengawasan ke negara lain sangat kompleks dan kontroversial.  Hal ini menimbulkan pertanyaan penting mengenai keseimbangan antara permasalahan keamanan nasional dan potensi pelanggaran hak asasi manusia.
 
Israel kini menjadi pusat industri pengawasan swasta. Unit 8200 tidak hanya memata-matai warga Palestina. Namun para veterannya juga menggunakan keahlian dan keterampilan mereka untuk mengembangkan alat pengawasan yang dijual kepada pemerintah di seluruh dunia.
 
Terdapat perjanjian internasional yang mengatur ekspor teknologi pengawasan. Misalnya, Pengaturan Wassenaar bertujuan untuk mengendalikan ekspor teknologi penggunaan ganda, termasuk produk pengawasan.  Israel wajib mematuhi perjanjian ini dan memastikan bahwa teknologinya tidak digunakan untuk tujuan yang melanggar hukum.  
 
Selain itu, undang-undang domestik Israel dimaksudkan untuk membatasi pasokan teknologi tersebut, terutama ke negara-negara dengan catatan hak asasi manusia yang buruk.  Undang-undang tersebut dikritik karena terlalu lemah dan tidak ditegakkan secara memadai. Kendati demikian, pemerintah Israel mengaku mematuhi pedoman nasional dan internasional. Menurut laporan di New York Times, perdagangan teknologi ini telah membantu Israel mengembangkan hubungan diplomatik dengan negara-negara Arab seperti Maroko, Bahrain, dan UEA.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler