Atas Nama Kecantikan, Kehidupan Warga Miskin Kota New Delhi Dihancurkan
Jelang penyelenggaraan KTT G20, New Delhi mempercantik diri
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Jelang penyelenggaraan KTT G20 di New Delhi pekan ini, ibu kota India, ini terus mempercantik diri. Suasana kota yang padat macet dan kumuh disulap dengan taman dan lampu-lampu jalan yang indah disertai bangunan dan tembok yang dicat dengan mural yang cerah.
Banyak orang miskin di kota itu mengatakan mereka telah dihapus dan ditutup-tutupi begitu saja. Hewan liar seperti sapi, anjing-anjing liar dan monyet-monyet yang telah disingkirkan dari beberapa sudut kota demi pertemuan puncak negara Kelompok 20 akhir pekan ini.
Pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi berupaya keras untuk membuat New Delhi berkilau, dengan sebuah "proyek kecantikan" berbiaya sebesar 120 juta dolar AS. Diharapkan cara ini akan membantu memamerkan kecemerlangan dan kehebatan budaya India.
Tetapi, faktanya bagi banyak pedagang kaki lima dan mereka yang hidup berdesakan di kota-kota kumuh New Delhi, perubahan ini berarti penggusuran. Termasuk ancaman hilangnya mata pencaharian, yang menimbulkan pertanyaan tentang kebijakan pemerintah dalam menangani kemiskinan.
Di kota yang berpenduduk lebih dari 20 juta orang ini, sensus tahun 2011 menyebutkan bahwa jumlah tunawisma mencapai 47.000 orang. Namun, para aktivis mengatakan bahwa angka tersebut terlalu rendah dan jumlah yang sebenarnya setidaknya mencapai 150.000 orang.
Sejak Januari 2023, ratusan rumah dan kios-kios di pinggir jalan telah dihancurkan, membuat ribuan orang kehilangan tempat tinggal. Puluhan rumah gubuk diratakan dengan tanah, dan banyak warga yang menerima pemberitahuan penggusuran hanya beberapa saat sebelum pembongkaran dilakukan.
Pihak berwenang mengatakan bahwa pembongkaran tersebut dilakukan terhadap "permukiman ilegal", tapi para aktivis hak asasi manusia dan mereka yang digusur mempertanyakan kebijakan tersebut dan menuduh bahwa kebijakan tersebut telah mendorong ribuan orang lainnya menjadi tunawisma.
Pembongkaran serupa juga telah dilakukan di kota-kota lain di India seperti Mumbai dan Kolkata yang menjadi tuan rumah berbagai acara G-20 menjelang KTT akhir pekan ini. Para aktivis mengatakan bahwa hal ini lebih dari sekedar kasus tidak terlihat, tidak terpikirkan.
Abdul Shakeel, dari kelompok aktivis Basti Suraksha Manch, atau Save Colony Forum, mengatakan bahwa "atas nama kecantikan, kehidupan masyarakat miskin kota dihancurkan."
"Uang yang digunakan untuk G-20 adalah uang para pembayar pajak. Semua orang membayar pajak. Uang yang sama digunakan untuk menggusur mereka. Ini tidak masuk akal," katanya.
KTT G-20 selama dua hari ini akan berlangsung di gedung Bharat Mandapam yang baru saja dibangun, sebuah pusat hall pameran yang luas di jantung kota New Delhi. Area ini juga berada di dekat monumen Gerbang India yang terkenal dan banyak pemimpin dunia diperkirakan akan hadir.
Perkumpulan G20 mencakup 19 negara terkaya di dunia ditambah dengan Uni Eropa. India saat ini memegang jabatan sebagai ketua, yang bergilir setiap tahunnya di antara para anggota.
Pada Juli, sebuah laporan dari Concerned Citizens Collective, sebuah kelompok aktivis hak asasi manusia, menemukan bahwa persiapan untuk KTT G20 telah menyebabkan perpindahan hampir 300.000 orang. Terutama dari perubahan lingkungan kota yang akan dikunjungi oleh para pemimpin dan diplomat asing selama berbagai pertemuan.
Puluhan kampung kumuh diratakan dengan tanah....
Sedikitnya 25 kampung kumuh dan beberapa tempat penampungan malam untuk para tunawisma diratakan dengan tanah dan diubah menjadi taman, kata laporan tersebut. Laporan itu juga menambahkan bahwa pemerintah gagal menyediakan tempat penampungan atau tempat tinggal alternatif bagi para tunawisma baru.
Bulan lalu, polisi India turun tangan untuk menghentikan sebuah pertemuan para aktivis, akademisi dan politisi terkemuka yang mengkritik Modi dan peran pemerintahnya dalam menjadi tuan rumah KTT G20 dan mempertanyakan kepentingan siapa yang akan diuntungkan oleh KTT tersebut.
"Saya dapat melihat para tunawisma di jalanan... dan sekarang para tunawisma juga tidak diizinkan untuk tinggal di jalanan," kata Rekha Devi, seorang warga New Delhi yang menghadiri pertemuan 20 Agustus.
Devi, yang rumahnya dihancurkan dalam salah satu aksi tersebut, mengatakan bahwa pihak berwenang menolak untuk mempertimbangkan dokumen-dokumen yang ia tunjukkan sebagai bukti. Padahal ia dan keluarganya telah tinggal di rumah yang sama selama hampir 100 tahun.
"Semua orang bersikap seolah-olah mereka buta," kata Devi. "Atas nama acara G20, para petani, pekerja dan orang miskin menderita."
Pihak berwenang India telah dikritik di masa lalu karena membersihkan perkemahan tunawisma dan kota-kota kumuh menjelang acara-acara besar. Beberapa pedagang kaki lima mengatakan bahwa mereka tidak berdaya, terjebak mengorbankan mata pencaharian mereka atau demi kebanggaan India ingin mencari nafkah.
Shankar Lal, yang menjual kari buncis dengan roti pipih goreng, mengatakan bahwa pihak berwenang telah menyuruhnya pindah tiga bulan yang lalu. Sekarang ini, satu-satunya waktu ia dapat membuka kiosnya di sepanjang jalan New Delhi yang sibuk di dekat lokasi KTT G20 adalah pada hari Minggu, ketika polisi tidak terlalu memperhatikan pedagang kaki lima.
"Ini adalah peraturan pemerintah, dan kami akan melakukan apa yang diperintahkan," kata Lal. "Pemerintah Modi tidak tahu apakah kami sekarat karena kelaparan atau tidak," ujarnya.