Piagam Madinah dan Toleransi dalam Bernegara
Piagam Madinah mencerminkan nilai toleransi.
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Nabi Muhammad SAW saat memutuskan hijrah ke Kota Madinah terdapat banyak masalah menyangkut perbedaan dalam kalangan masyarakat yang plural di Madinah. Nabi Muhammad kemudian membuat perjanjian dengan berbagai kalangan. Perjanjian formal itu disebut sebagai "Piagam Madinah".
Salah satu tujuan utamanya adalah menyatukan dan menciptakan kehidupan masyarakat Kota Madinah yang damai dan tentram dibalik segala perbedaan yang ada dalam masyarakat. Isi dari Piagam Madinah antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat dengan tanggung jawab, menghormati pendapat orang lain dan keselamatan harta benda atas milik masyarakat.
"Piagam Madinah mengatur larangan bagi orang untuk melakukan kejahatan baik dalam pencurian, perampokan dan penipuan. Piagam Madinah ini dalam dunia modern dimodifikasi dalam peraturan kitab hukum pidana," terang Praktisi Hukum dan Pemerrhati Polsosbud, Agus Widjajanto, Selasa (19/9/2023)
Piagam Madinah terdiri empat bagian dan 47 Pasal. Piagam Madinah mengatur sistem perpolitikan, keamanan, kebebasan beragama, serta kesetaraan di muka hukum, perdamaian dan pertahanan. Piagam ini pula yang turut mengilhami para pendiri bangsa membentuk Negara Kesatuan yang dijabarkan dalam Pancasila sebagai Dasar Negara dan UUD 1945 sebagai hukum dasar tertulis.
"Para pendiri bangsa ini memasukan beberapa kata dalam Alqur'an pada sistem ketatanegaraan yang saat itu diusulkan oleh H Agus Salim. Misalnya kata Rakyat, Musyawarah, Majelis dan sebagainya," jelas Agus Widjajanto.
Agus menyatakan, pemikiran dari para pendiri bangsa tersebut sangat visioner dan mampu menjangkau puluhan tahun ke depan. Hal yang sepatutnya ditiru para politisi di negeri ini, bagaimana berpikir lebih maju dan menghilangkan kepentingan sesaat.
Terkait kepentingan sesaat ini, Agus Widjajanto berkaca pada pada munculnya politik identitas dalam pemilihan kepala daerah yang menimbulkan preseden paling buruk dalam sejarah bangsa ini. Sesuatu yang tidak hanya bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika, tetapi sekaligus melupakan sejarah penting Piagam Madinah.
Sumber Inspirasi Pancasila
Pancasila sebagai Dasar Negara, Filosofi dan Pandangan Hidup Bangsa digali oleh Ir Soekarno. Presiden Ke-1 RI itu mencetuskan sila-sila Pancasila dalam sidang pembahasan falsafah negara dihadapan Badan persiapan usaha kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), 1 Juni 1945.
Di samping digali dari sumber primair seperti Kitab Negara Kertagama dan Kitab Sutasoma, Bung Karno menggalinya dari Serat Wredhatama dan Ajaran Wulang Reh. Utamanya juga adalah dari Alquranul Karim serta Piagam Madinah yang dideklarasikan Rasullullah SAW saat di Kota Madinah hingga tercipta urutan Pancasila.
"Saat pembahasan soal Dasar Negara, Mr Soepomo sedari awal keberatan dimasukannya hak asasi manusia dalam konteks negara kesatuan. Ia khawatir masukkan hak asasi manusia ini akan memperlemah negara kesatuan yang mana lebih berorientasi negara liberal," tegas Agus Widjajanto.
Keberatan Mr Soepomo, lanjutnya, menimbulkan perdebatan sengit. Mr Moh Yamin dan Ir Soekarno serta H Agus Salim tidak sependapat atas pendapat Mr Soepomo. Kemudian dicari jalan tengah yang ditekankan pada kata "keadilan sosial" dalam Pancasila dan Pasal 28 dalam Undang-Undang Dasar 1945.
"Jika melihat kondisi saat ini, kekhawatiran Mr Soepomo tentu bisa dipahami. Karena sekarang lebih banyak orang hanya menuntut hak sebagaimana diatur Piagam PBB, Declaration of Human Right, tetapi tidak memikirkan kewajibannya sebagai warga negara," urainya.
Karena itu pula, Agus membenarkan pidato Bung Karno. Bahwa kalau jadi Hindu janganlah jadi orang India. Kalau jadi Islam janganlah jadi Orang Arab. Kalau jadi Kristen janganlah jadi orang Yahudi. Tetaplah jadi Orang Nusantara dengan hidup berdasarkan adat-istiadat orang Nusantara.
"Intinya, jadilah manusia beragama apapun agamamu. Dan, jadilah orang Indonesia yang menghargai adat-istiadat dan budaya Indonesia. Karena ke depan keyakinan atas ke-Indonesia-an ini akan luntur jika kita tidak berpegang teguh bahwa kita orang Indonesia bukan bangsa barat atau bangsa jazirah timur," ucapnya.
Di sisi lain, Agus Widjajanto menyinggung penyebar Agama Islam di Tanah Jawa yaitu Sayyid Jakfar Sodiq yang mendirikan masjid di Desa Kerjasan Kota Kudus pada tahun 1503 Masehi. Masjid itu saat ini dikenal dengan nama Masjid Menara Kudus.
Masjid yang sangat legendaris karena bangunan menara mengambil dari bekas pure peribadatan dalam agama Hindu. Sayyid Jakfar Sodiq atau dikenal dengan sunan Kudus sendiri diketahui lahir di Kota Al Quds Palestina, 9 September 1400 Masehi/808 Hijriah.
Pada saat Sunan Kudus menyebarkan agama, masyarakat Kudus dan sekitarnya masih memeluk agama Hindu. Melalui pendekatan budaya dan adat-istiadat, beliau mendapat sambutan hangat di hati masyarakat. Saat itu, Sunan Kudus memfatwakan bagi masyarakat Kudus tidak boleh memotong menyembelih sapi.
Hal ini merupakan politik hukum yang diambil untuk menghormati umat beragama Hindu yang mengkeramatkan hewan sapi dalam kepercayaan mereka. Hingga saat ini, masyarakat di Kudus patuh dan hormat tetap memegang teguh tradisi dari fatwa Sunan Kudus tersebut meski jaman telah berubah.
Di balik fatwa Sunan Kudus tersebut, ada pesan dan ajaran yang disampaikan bahwa kita harus menghormati antar umat beragama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Pola pikir Sunan Kudus itu bisa menjangkau ratusan tahun ke depan. Bahwa bangsa ini dibentuk dari beberapa perbedaan dan menyatu dengan cita-cita bersama yang bernama Indonesia.
"Bhineka Tunggal Ika dengan Piagam Madinah itu senafas. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya menghargai perbedaan, bahwa yang mayoritas menghargai yang minoritas, yang minoritas memahami yang mayoritas. Bhineka Tunggal Ika sejalan dengan ajaran Islam mengenai persatuan yaitu Ukhuwah Islamiah, Ukhuwah Wathoniah dan Ukhuwah Bashariah," demikian Agus Widjajanto.